by admin admin No Comments

Jakarta, CNBC Indonesia-Kenaikan tarif cukai rokok secara agresif dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan masalah baru. Alih-alih mengurangi konsumsi masyarakat, peredaran rokok ilegal makin marak.

“Kenaikan tarif berlebihan menyebabkan konsumen beralih ke rokok ilegal atau lintingan manual, yang tidak berkontribusi pada penerimaan cukai,” ungkap Manajer Riset Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Badiul Hadi kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/6/2025)

Badiul menjelaskan, sejak 2022 hingga 2024, cukai rokok naik secara agresif dengan rata-rata 10% dengan tujuan untuk mengurangi konsumsi masyarakat dan meningkatkan penerimaan negara.

Hasilnya produksi rokok mencapai 323,9 miliar batang dengan penerimaan Rp218,3 triliun dan kenaikan tarif 12% pada 2022. Tahun 2023, produksi menurun menjadi 318,1 miliar batang, penerimaan turun menjadi Rp213,5 triliun dengan kenaikan tarif 10%. Pada 2024, produksi kembali turun menjadi 317,4 miliar batang, sementara penerimaan hanya naik tipis menjadi Rp216,9 triliun dengan tarif tetap naik 10%.

“Ini bisa jadi indikasi awal bahwa kita mulai mendekati atau bahkan melewati titik optimal dari kurva Laffer,” jelasnya.

Kurva Laffer dipopulerkan oleh ekonomi asal Amerika Serikat bernama Arthur Laffer. Teori ini menjelaskan menunjukkan hubungan antara tarif pajak dan penerimaan negara, serta bagaimana kebijakan pajak yang tepat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan penerimaan negara.

Dalam konsepnya, kenaikan tarif pajak atau cukai secara ekstrem justru tidak meningkatkan penerimaan negara, melainkan sebaliknya. Tarif yang terlalu tinggi akan melemahkan ekonomi, karena berpengaruh terhadap daya beli masyarakat dan investasi. Pelemahan ini yang kemudian menekan penerimaan negara.

“Memang teori Laffer cukup relevan untuk membaca dinamika cukai saat ini, kemungkinan besar kita sudah mendekati atau mulai melewati puncak itu,” ujarnya.

Menurut Badiul, pemerintah harus lebih hati-hati dalam menerapkan cukai rokok. Terutama dalam kondisi sekarang dengan daya beli masyarakat yang rendah dan pelemahan ekonomi.

“Penting bagi pemerintah evaluasi titik optimal tarif cukai tembakau, pemerintah perlu melakukan kajian mendalam berbasis data industri dan elastisitas permintaan,” terang Badiul.

(arj/mij)

Next Article Orang RI Berbondong-bondong Pilih Rokok Murah, Ini Jurus Bea Cukai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *