TEMPO.CO, Jakarta – Ekonom sekaligus Director Digital Economy Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menjelaskan cara kerja bisnis investasi syariah imbas PT Paytren Aset Manajemen (PAM) dicabut izinnya oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada 8 Mei 2024 lalu.
“Perbedaan terletak pada prinsip produk dan pembagian keuntungan,” kata Huda kepada TEMPO melalui pesan singkat pada Minggu, 19 Mei 2024.
Huda mengatakan secara prinsip, manajer investasi usaha bidang konvensional berpatokan pada pasar bebas. Maka dengan pasar bebas mendapatkan produk yang mencakup semua aspek. Namun, jika syariah, prinsip berdasarkan hukum Islam yang berlaku serta investasi ke produk tertentu saja. Khususnya produk halal.
“Manajer investasi syariah tidak menanamkan investasi nasabah ke perusahaan yang mengandung unsur haram seperti bir atau produk yang mengandung babi,” tuturnya.
Sementara manajer investasi konvensional akan berpatokan kepada keuntungan yang diperoleh. “Kalau syariah berdasarkan pada bagi hasil atau rugi. Makanya memang produk investasi syariah sangat terbatas dan perlu niche (segmen pasar) market untuk berkembang,” ujarnya.
Menurutnya, Indonesia memiliki pasar yang cukup besar. Namun, sedikit yang memahami prinsip dan risikonya. “Maka kadang terjadi fraud (tindakan penyimpangan atau pembiaran memanipulasi Bank atau nasabah),” katanya.
Paytren didirikan Yusuf Mansur melalui PT Veritra Sentosa Internasional pada 10 Juli 2013. Akan tetapi, baru terdaftar sebagai Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran pada 2018, setelah dibekukan oleh Bank Indonesia pada 2017.
Pada Oktober 2017, Paytren sempat dibekukan oleh Bank Indonesia karena tidak punya izin bisnis uang elektronik. Saat itu, BI menyatakan bahwa mereka ingin memastikan bahwa badan yang mengumpulkan dana dari masyarakat sejalan dengan peraturan BI. Dalam tiga tahun terakhir, Yusuf Mansur dikabarkan mencoba menjual Paytren namun tidak berhasil menemukan pembeli sampai akhirnya izin usahanya dicabut OJK.
Berdasarkan fakta-fakta dan informasi yang diperoleh dalam proses pemeriksaan dan pengawasan lanjutan, OJK menetapkan Sanksi Administratif Berupa Pencabutan Izin Usaha Perusahaan Efek Sebagai Manajer Investasi Syariah kepada PT Paytren Aset Manajemen pada 8 Mei 2024. “Yang terbukti melakukan pelanggaran atas peraturan perundang-undangan di sektor Pasar Modal dan PT Paytren Aset Manajemen,” demikian tulis OJK dalam pengumumannya.
Dengan dicabutnya izin usaha perusahaan, maka PT Paytren Aset Manajemen mendapatkan lima konsekuensi. Pertama, dilarang melakukan kegiatan usaha sebagai manajer investasi dan/atau manajer investasi syariah. Kedua, wajib menyelesaikan seluruh kewajiban kepada nasabah dalam kegiatan usaha sebagai manajer investasi jika ada.
Ketiga, wajib menyelesaikan seluruh kewajiban kepada OJK melalui Sistem Informasi Penerimaan OJK jika ada. Keempat, wajib membubarkan perusahaan paling lambat 180 hari setelah surat keputusan ini ditetapkan. Terakhir, dilarang menggunakan nama dan logo perseroan untuk tujuan dan kegiatan apapun, selain untuk kegiatan yang berkaitan dengan pembubaran perseroan terbatas.
DESTY LUTHFIANI | ANNISA FEBIOLA
Pilihan Editor: Di Qatar Economic Forum, Prabowo Sebut Biaya Pembangunan IKN Tembus Rp 16 Triliun per Tahun