TEMPO.CO, Yogyakarta – Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika Nezar Patria menyatakan terbitnya Surat Edaran Etika Kecerdasan Artifisial atau AI bukan untuk membatasi ataupun mengekang para pengembang dan industri untuk berkreasi dan berinovasi.
Surat edaran bernomor 9 Tahun 2023 tentang Etika Kecerdasan Artifisial yang diteken 19 Desember 2023 itu, kata Nezar, sifatnya lebih sebagai panduan etika, agar pengembangan AI di tanah air lebih banyak manfaatnya dibanding dampak negatifnya.
“Kami (pemerintah) tidak ingin membatasi inovasi AI yang gencar dikembangkan, surat edaran itu sifatnya soft regulation, panduan aspek etis bagi pengembang dan industri AI,” kata Nezar di sela menghadiri Diskusi Publik Kecerdasan Artifisial di UGM Yogyakarta Jumat 8 Maret 2024.
Nezar mengungkapkan saat ini di tanah air ada lebih dari 100 startup dan perusahaan global yang mengadopsi AI. Pemerintah, kata dia, mencoba menjaga agar AI yang dikenbangkan tidak menjurus pada hal hal yang merusak tatanan sosial.
“Misalnya mencegah produk AI yang memicu diskriminasi atau AI yang memproduksi disinformasi dan misinformasi yang menyebabkan kekacauan informasi dan berdampak pada harmonisasi sosial,” urai Nezar.
Nezar mengungkapkan, posisi Kementerian Komunikasi dan Informatika melalui surat edaran itu masih dalam tahap mencermati dan mengamati perkembangan AI di tanah air. Tahap identifikasi risiko perkembangan AI yang sudah maupun belum muncul juga masih jadi perhatian.
“Sebab AI ini memiliki dampak ekonomi dan juga sosial budaya di masyarakat,” kata dia.
Nezar menambahkan, hingga saat ini Kominfo belum berencana meningkatkan surat edaran etika AI ini menjadi peraturan yang lebih kompleks. Karena untuk membuat aturan yang sifatnya lebih mengikat butuh keterlibatan publik. Baik dari pelaku industri, masyarakat dan juga kalangan akademisi agar bisa mendapatkan perspektif yang lebih luas dalam tata kelola AI itu.
Selain surat edaran etika AI, Kominfo juga telah membentuk Center Ethics of AI ini. Organisasi ini yang akan melakukan pendekatan multidisipliner dalam melihat kecerdasan buatan terutama dari perspektif etik.
“Karena itu penting sekali dalam kaitannya dengan AI, tentang bagaimana kita meminimalkan risiko risiko penggunaannya, juga bagaimana bisa digunakan dengan menghormati nilai-nilai dasar kemanusiaan,” ujarnya.
Menurut Nezar, panduan etik pengembangan AI ini juga sejalan dengan apa yang dilakukan lembaga dunia UNESCO. Terlebih, ujar dia, Indonesia termasuk salah satu negara yang paling agresif dalam pengembangan kecerdasan buatan.
“Namun surat edaran ini bukan sebagai payung hukum yang menindak jika terjadi pelanggaran, karena kalau terkait hukum kita sudah memiliki tools yang lain,” kata dia.
Karena kecerdasan buatan ini sifatnya bukan non legally binding yang penciptaannya bisa diseret ke kasus hukum dan tidak punya kekuatan yang memaksa untuk penggunaannya, panduan etik yang berdasar kesukarelaan menjadi hal penting.
“Panduan etik ini kalau dipatuhi atau diikuti akan membuat produk-produk AI itu kemungkinan melanggar hukumnya lebih kecil,” kata Nezar.
Pilihan Editor: Jokowi Ternyata Berikan Akses Luas ke Bahlil untuk Kelola Perizinan Tambang