by admin admin No Comments

Joe Biden Menang Pilpres AS, Apa Dampaknya Buat Ekonomi RI?

Jakarta – Kemenangan Joe Biden atas Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat (AS) akan memberi dampak ke ekonomi global termasuk Indonesia. Bagi Indonesia, kemenangan Biden akan menurunkan tensi perang dagang antara AS dan China yang mendorong nilai komoditas dan stabilitas pasar keuangan global.

Kondisi itu akan menguntungkan Indonesia dari sisi ekspor dan nila tukar.

“Kemenangan Joe Biden diharapkan dapat membawa sentimen positif bagi perekonomian Indonesia dengan perubahan kebijakan ekonomi yang akan diambil Amerika Serikat dalam empat tahun ke depan yang berbeda dari pemerintahan saat ini,” kata Managing Partner Grant Thornton Indonesia, Johanna Gani dalam keterangannya.

Meski begitu, turunnya tensi perang dagang dapat mengurangi rencana investor di China yang akan memindahkan pabriknya ke negara lain. Sehingga, bukan tidak mungkin muncul risiko terhambatnya arus aliran investasi langsung (FDI).

“Ketidakpastian ekonomi akibat perang dagang dan pandemi sepanjang tahun 2020 diharapkan dapat segera pulih dan hubungan dagang Indonesia-Amerika Serikat tetap akan stabil dan bergerak lebih positif,” katanya.

Dalam keterangan tersebut dijelaskan, kemenangan Biden akan berdampak terhadap perubahan peta perekonomian dunia di mana perang dagang menjadi sorotan. Perang dagang ini secara tidak langsung menekan kinerja ekspor dan impor dunia, termasuk perekonomian Indonesia.

Dalam hal ini, Biden sendiri diproyeksikan beberapa pengamat akan mengurangi tensi hubungan dagang dengan China. Dari sisi ekonomi, Joe Biden, dalam manifesto kebijakan ekonominya akan melakukan kebijakan baru seperti menaikkan berbagai macam pajak termasuk pajak korporasi yang diprediksi akan naik sebesar 15%.

Terkait belanja negara, Biden berjanji akan memberikan stimulus fiskal yang jauh lebih besar yakni sekitar US$ 2,5 triliun selama periode 2021-2024.

by admin admin No Comments

Perkembangan Industri Perbankan dan Fintech Belum Sejalan

Seiring berkembangnya zaman, Industri financial Technology (fintech) kian gencar diperkenalkan ke berbagai pihak. Tidak hanya konsumen, namun juga ke industri perbankan. Industri fintech akan lakukan kerjas ama dengan industri perbankan untuk menciptakan ekosistem pembayaran yang lebih efisien.

Meski begitu, kerja sama ini dinilai masih memerlukan diskusi yang lebih lanjut terutama dari pihak perbankan. Hal tersebut disampaikan Rico Usthavia Frans, Direktur Teknologi Informasi dan Operasi Bank Mandiri dalam Seminar Nasional Kolaborasi Industri Perbankan dan Fintech dalam Sistem Pembayaran di Jakarta.

“Ada beberapa aspek (antara fintech dengan industri perbankan) yang kita nilai tidak ekuilibrium, misalnya dari sisi revenue. Bank masih konvensional ambil revenue mengais dari biaya admin, biaya transfer, dan sebagainya. Sedang fintech justru malah kasih cashback saat bayar listrik,” ungkapnya di Jakarta, (21/02/2019).

Rico juga menilai selama ini perbankan tidak pernah mendapat komisi dari transaksi yang dihasilkan fintech, padahal konsumennya berasal dari nasabah perbankan.

Dari sisi rekrutmen pegawai, Bank masih merekrut dengan latar belakang pendidikan dan keahlian teknis tertentu. Sementara fintech merekrut semua kalangan dengan fokus soft skillseperti kepemimpinan, manajemen tim dan lainnya.

Rico menyatakan, nanti akan ada konvergensi dari seluruh aspek itu jika fintech berkolaborasi dengan industri perbankan.

Pemakaian pembayaran digital makin pesat selama dua tahun terakhir di Indonesia. Hal itu mendorong Indonesia lebih dekat ke China dan India dalam ekonomi digital.

Hal disebutkan dalam laporan Morgan Stanley bertajuk financial technology (fintech) terus pimpin pasar pembayaran digital yang disusun oleh Analis Morgan Stanley Mulya Chandra dan Yulinda Hartanto, seperti dikutip pada Kamis (21/2/2019).

Dalam laporan itu menunjukkan Indonesia berada empat tahun di belakang India untuk pangsa pasar pembayaran digital. Pembayaran digital Indonesia yaitu dari transaksi nontunai melompat dari 1,3 persen pada 2016 menjadi 2,1 persen pada 2017. Kemudian 7,3 persen pada 2018. 

Hal ini menempatkan Indonesia pada tingkat yang sama dengan India. Pangsa pasar pembayaran digital di India bergerak dari 6,4 persen pada 2014 hingga menjadi 10,9 persen pada 2015.

Dibandingkan China, Indonesia berda tiga tahun di belakang negara itu dalam penetrasi smartphone. Penetrasi ponsel pintar naik dari 28 persen pada 2014 menjadi 54 persen pada 2017. Jumlah ini sama dengan China sebesar 52 persen pada 2017, dan dua kali lipat dari India pada 2017.

Lonjakan pertumbuhan uang elektronik mirip dengan China pada tiga tahun lalu.  Biasanya adopsi revolusioner ditandai dengan lonjakan nilai transaksi. Ini ditunjukkan di Indonesia dengan pertumbuhan 381 persen pada 2018. Kondisi itu mirip China pada 2016.

Indonesia juga memiliki populasi yang tidak memiliki rekening bank lebih tinggi dari India dan China. Bank Dunia menyatakan Indonesia  masih memiliki 51 persen populasi yang tidak memiliki rekening bank pada 2017. Angka ini jauh lebih tinggi dari India dan China, kedua negara itu memiliki populasi 20 persen pada 2017.

Selain itu, Morgan Stanley menyebutkan pembayaran digital dari e-commerce masih tertinggal dari fintech. Secara kelompok, 90 persen responden menggunakan fintech e-wallet dan hanya 35 persen menggunakan e-commerce.

Pola penggunaan pembayaran digital di Indonesia pun berbeda dengan China dan India. Survei menunjukkan kalau penggunaan pembayaran digital di Indonesia untuk transportasi, pemesanan makanan online dan mobile. Sedangkan di China dan India, pembayaran digital untuk belanja online.

by admin admin No Comments

Indonesia has benefited from the US-China trade war, minister says

The ongoing trade war between the U.S. and China has opened up new opportunities for Indonesia, the Southeast Asian nation’s minister of industry said Tuesday.

Indonesia is the largest economy in Southeast Asia, the region tipped by many to be one of the beneficiaries of a tariff fight that has threatened global growth. Experts have said the conflict between the world’s two largest economies would push companies to speed up plans to move parts of their supply chains from China to countries such as VietnamThailand and Indonesia.

And Indonesia has seen that shift happening, Minister Airlangga Hartarto told CNBC’s Nancy Hungerford at the World Economic Forum in Davos, Switzerland.

The official said a number of companies that produce textiles and footwear have explored the opportunity to move from China to Indonesia. The Southeast Asian country has also been exporting more steel to the U.S., he added. That’s despite U.S. President Donald Trump imposing additional tariffs on steel and aluminum imports in March last year.

Indonesia exports of iron and steel to the U.S. jumped 87.7 percent year-over-year in the January through November period of 2018, according to data from the country’s trade ministry. During the same period, total exports to the U.S. grew 3 percent, the data showed.

Those opportunities aside, Airlangga said the trade war could end up hurting the global economy and that’s not good for all countries.

“I think the new norm of slow growth is not good for everybody … It’s not good enough for Indonesia to create jobs for the people,” the minister said.

by admin admin No Comments

Ancaman Penutupan Pemerintahan AS Dongkrak Harga Minyak

Harga minyak mentah dunia menanjak pada perdagangan Selasa (11/12), waktu Amerika Serikat (AS). Namun, kenaikan harga minyak terbatas oleh kinerja pasar saham yang negatif akibat kekhawatiran terhadap kemungkinan berhentinya operasional pemerintahan AS.

Dilansir dari Reuters, Rabu (12/12), harga minyak mentah berjangka Brent naik US$0,23 atau 0,4 persen menjadi US$60,2 per barel. Penguatan juga terjadi pada harga minyak mentah berjangka AS West Texas Intermediate (WTI) sebesar US$0,65 atau 1,3 persen menjadi US$51,65 per barel.

Pasar saham AS tertekan setelah Presiden AS Donald Trump mengancam untuk ‘menutup’ pemerintahan AS demi pendanaan pembangunan tembok perbatasan AS-Meksiko. “Sepertinya prospek berhentinya operasional pemerintahan AS tidak bagus untuk kinerja aset manapun. Pasar modal bereaksi pertama yang menyeret harga minyak bersamanya,” ujar Partner Again Capital Management John Kilduff di New York.

Di awal sesi perdagangan, harga minyak sebenarnya mendapatkan dorongan setelah National Oil Company (NOC) Libya mengumumkan kondisi kahar pada ekspor minyak dari lapangan minyak terbesarnya El Sharara. Pekan lalu, lapangan tersebut direbut oleh kelompok militan.

Pada Senin lalu, NOC menyatakan berhentinya operasional lapangan minyak El Sharara akan menghilangkan produksi sebesar 315 ribu barel per hari (bph) dan tambahan produksi yang hilang dari lapangan minyak El Feel sebesar 73 ribu bph.

Di sisi lain, harga minyak tertekan juga tertekan pemangkasan produksi Rusia yang lebih lambat dari ekspektasi. Pemangkasan tersebut merupakan bagian dari kesepakatan bersama Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi sebesar 1,2 juta bph.

Pada Selasa kemarin, Rusia menyatakan hanya berencana untuk memangkas produksi sebesar 50 ribu hingga 60 ribu bph pada Januari 2019. Namun, secara bertahap, jumlah itu akan dinaikkan hingga mencapai 220 ribu bph.

“Harga minyak mentah berjangka relatif tidak berubah dari sebelum kesepakatan OPEC mengingat pasar masih khawatir terhadap indikasi lambatnya pengurangan produksi yang dilakukan Rusia bulan depan,” ujar Presiden Ritterbusch and Associates Jim Ritterbusch di Chicago dalam catatannya.

Para analis lain mencermati pengurangan produksi yang dilakukan oleh OPEC dan sekutunya, termasuk Rusia, kemungkinan tidak terlalu besar untuk mengembalikan keseimbangan pasar. Khususnya, setelah pemerintah AS memproyeksikan Negeri Paman Sam bakal mengakhiri tahun ini sebagai negara produsen minyak terbesar baru di dunia.

Badan Administrasi Informasi Energi AS (EIA) memprediksi produksi minyak mentah AS bakal terkerek 10,9 juta bph pada tahun ini dan 12,1 juta bph pada 2019.

Hari ini, Institut Perminyakan Amerika (API) bakal merilis data persediaan minyak AS. Berdasarkan jajak pendapat Reuters, para analis memperkirakan persediaan minyak mentah merosot tiga juta barel pekan lalu.

by admin admin No Comments

‘Winter is coming’: Indonesia’s President Jokowi urges unity as he sounds warning for global economy

NUSA DUA – Drawing from popular television series Game Of Thrones, Indonesia’s President Joko Widodo warned that “winter is coming” when he urged countries to unite and cooperate, rather than compete, to address mounting issues from climate change to technology disruption.
Speaking on the International Monetary Fund-World Bank annual meetings plenary in Bali on Friday (Oct 12), Mr Joko said the world is seeing an imbalance of economic growth: The United States, the world’s largest economy, is enjoying robust expansion, while many others across the globe are struggling with various woes stemming from escalating trade tensions, industrial shocks due to technology disruption and market pressure.
Comparing the current state of global landscape, marked by heated rivalry among some economic powers, with the blockbuster TV series where several “great families” and “great houses” compete to claim the Iron Throne, Mr Joko warned that “the evil winter is coming” and it can bring massive destruction to the world.
“With the threat from evil winter, they finally realise it’s not important who will occupy the Iron Throne. The most important thing is the mutual power to defeat the evil winter so that global disaster won’t happen, so that the world doesn’t turn into a wrecked barren land that causes suffering to all of us,” Mr Joko said.
“I want to assure that we are entering the final session of global economic expansion that is full of rivalry and competition, and that can turn into something which is more critical than the global financial crisis 10 years ago.”
He added: “We depend on you all, the monetary and fiscal policymakers to keep the commitment of global cooperation.”
Mr Joko pointed out some pressing concerns that also require strong cooperation from countries to tackle: Climate change and a polluted food chain because of marine debris.
To curb the impact of climate change, for instance, the world may need to increase an annual investment in renewable energy by around 400 per cent globally, to save the planet and many lives, he said.
“Therefore, we need to ask if now is the right time to embrace rivalry and competition,” he said.
“Are we too busy competing against each other and fighting with each other that we fail to realise the big threat shadowing all of us, that there’s threat facing both rich and poor countries, large and small nations alike?”
He called on finance ministers and central bank governors to “cushion the blows from trade wars, technical disruption and market turmoil”.
“I do hope you will do your part to encourage leaders to address the situation appropriately. Monetary and fiscal policies that can shoulder trade wars, technology disruption and market uncertainties are necessary,” he said.
He then drew raucous laughter with a further reference to the fantasy show’s “Mother of Dragons” character – in a nod to IMF chief Christine Lagarde, who smiled broadly at the comment.
Ms Lagarde, who also spoke at the same event, acknowledged the global imbalances caused by trade, which despite having created prosperity, also caused a backlash, as too many people have been left out.
To cope with the changing economic landscape, she proposed a “new multilateralism”, an international cooperation which is “more inclusive, more people-centred and more result-oriented”.
Ms Lagarde cited an agenda to achieve Sustainable Development Goals as an example of where strong cooperation matters, as low-income countries need an extra US$520 billion (S$715 billion) each year for investment in vital sectors, such as health, education, water and infrastructure, by 2030.
“This partnership is integral to the new multilateralism – not least because tensions arising from exclusion and climate change do not respect national borders. In that sense, solidarity is self interest,” she said.