by admin admin No Comments

Jakarta, CNBC Indonesia – Krisis utang tengah melanda dunia, termasuk negara-negara ekonomi berkembang atau emergin markets. Bahkan, permasalahan itu mendapat perhatian khusus dari Paus Fransiskus saat Pertemuan Vatikan yang digelar tahun ini dan turut dihadiri ekonom dan petinggi perbankan dunia.

Dalam pertemuan bertajuk ‘Debt Crisis in the Global South’ 5 Juni lalu itu, Paus Fransiskus menyampaikam kepada para bankir dan ekonom bahwa negara-negara termiskin di dunia terbebani oleh utang yang tidak dapat dikelola dan negara-negara kaya perlu berbuat lebih banyak untuk membantu.


Negara-negara berkembang menghadapi tekanan utang publik sebesar US$ 29 triliun. Lima belas negara dalam kategorinitu membelanjakan lebih banyak uang untuk pembayaran bunga dibandingkan untuk pendidikan, menurut laporan terbaru Konferensi Perdagangan dan Pembangunan PBB. 46 negara di antaranya menghabiskan lebih banyak uang untuk pembayaran utang dibandingkan untuk anggaran belanja layanan kesehatan.

Mengutip laporan The New York Times, krisis utang itu merupakan permasalahan berulang dalam era perekonomian global modern. Namun masalah utang yang terjadi saat ini merupakan yang terburuk sejauh ini. Apalagi, secara keseluruhan, utang pemerintah di seluruh dunia meningkat empat kali lipat dibandingkan tahun 2000.

Pemicunya mulai dari belanja pemerintah yang berlebihan atau salah urus, hingga fenomena masalah global yang tidak dapat dikendalikan oleh sebagian besar negara telah menyebabkan permasalahan utang mereka semakin parah.

Di antaranya Pandemi Covid-19 yang telah menyebabkan roda bisnis berhenti dan pendapatan pekerja anjlok, pada saat yang sama biaya layanam kesehatan dan bantuan sosial meningkat. Konflik kekerasan di Ukraina dan negara lain berkontribusi pada kenaikan harga energi dan pangan. Bank sentral menaikkan suku bunga untuk melawan lanjakan inflasi. Pertumbuhan global juga tengah melambat.

Apa yang disampaikan Paus Fransiskus sebetulnya sama dengan yang disampaikan Paus Yohanes Paulus II pada pertemuan yang sama 25 tahun lalu. Kedua Paus itu mengaitkan seruan mereka dengan apa yang mereka namakan sebagai Yobel (Jubilee) atau tahun suci. Yobel merupakan sebuah perayaan yang berakar pada Alkitab dan dikaitkan dengan periode ketika para budak dibebaskan dan hutangnya diampuni.

Perayaan Yobel yang digelar pada 2000 dan diikuti oleh koalisi yang terdiri dari para pemimpin agama, musisi, akademisi, kaum konservatif evangelis, aktivis liberal, dan politisi, sebetulnya turut mengampanyekan perlunya penghapusan utang untuk menghadapi krisis itu. Lebih dari 21 juta orang menandatangani petisi yang mendukung pengampunan utang. Hal ini pada akhirnya menghasilkan upaya global yang menghapuskan lebih dari US$ 100 miliar utang dari 35 negara miskin.

Paus Fransiskus menghidupkan kembali gagasan Kampanye Yobel untuk tahun 2025. Ditunjuk sebagai kardinal di Argentina pada 2001 atau tahun puncak keruntuhan keuangan negara tersebut, Paus Fransiskus memang telah melihat secara langsung penderitaan dan kerusuhan yang dapat diakibatkan oleh krisis utang.

Dia menyerukan transformasi sistem keuangan global selain program penghapusan utang. “Mari kita memikirkan arsitektur keuangan internasional baru yang berani dan kreatif,” katanya pekan lalu, dilansir nytimes.com, Sabtu (15/6/2024).

Pidato Paus Fransiskus saat pertemuan Vatikan itu merupakan bentuk pengakuan bahwa permasalahan utang abad ini jauh lebih rumit dibandingkan permasalahan utang sebelumnya.

Letak perbedannya ialah utang tersebut sebagian besar dipegang oleh segelintir bank besar dari negara-negara Barat dan organisasi pembangunan internasional yang sudah berusia puluhan tahun. Selain itu, saat ini, negara-negara pengutang juga harus berhadap dengan ribuan pemberi pinjaman swasta dan negara kreditor seperti China, serta berbagai perjanjian pinjaman rahasia yang diatur oleh peraturan nasional yang berbeda.

Banyak ekonom dan pembuat kebijakan berpandangan bahwa mekanisme dan lembaga, termasuk Dana Moneter Internasional (IMF) , yang dibentuk 80 tahun lalu untuk menangani negara-negara yang mengalami kesulitan keuangan sudah tidak mampu lagi melakukan tugasnya.

Indermit Gill, kepala ekonom di Bank Dunia, salah satunya, yang menyampaikan pada oekan ini ketika bank tersebut merilis laporan ekonomi global terbarunya dengan memperingatkan dampak utang yang melumpuhkan kini terjadi pada saat pertumbuhan ekonomi negara-negara dunia melambat.

Penghapusan utang “merupakan bagian terlemah dari arsitektur keuangan global,” kata Gill. Perubahan dalam struktur pinjaman menurutnya “membutuhkan kerangka restrukturisasi utang baru yang belum kami miliki.”

Meningkatnya perselisihan antara China dan Amerika Serikat telah mempersulit penyelesaian krisis utang. Dan tidak ada lembaga internasional yang bisa menjadi wasi atau mempunyai wewenang atas semua pemberi pinjaman – yang setara dengan pengadilan kebangkrutan – untuk mengadili perselisihan. Pendanaan dari lembaga-lembaga seperti IMF juga tidak mampu mengimbangi pertumbuhan ekonomi global atau beban utang.

Martin Guzmán, mantan menteri keuangan Argentina yang juga sempat merasakan dampak buruk dari krisis utang negara asalnya, turut menghadiri pertemuan Vatikan pekan lalu itu. Ia bahkan sempat membuat pengakuan bahwa bantuan IMF kadang-kadang kontraproduktif, dengan menawarkan pinjaman dana talangan (bailout) yang kini berbunga tinggi, namun pada akhirnya menambah beban utang suatu negara.

Dia juga mengecam biaya tambahan yang dibebankan oleh IMF kepada debitur berisiko tinggi yang tengah mengalami kesulitan keuangan, sehingga menyedot dana berharga yang dapat digunakan untuk menyediakan layanan kesehatan dan membangun kembali perekonomian negara itu.

Lima negara peminjam terbesar yakni Ukraina, Mesir, Argentina, Ekuador dan Pakistan telah membayar US$ 2 miliar sebagai biaya tambahan tahun lalu, menurut Center for Economic and Policy Research. Rata-rata, biaya tambahan pada akhirnya meningkatkan biaya pinjaman untuk semua negara yang terkena dampak sebesar hampir 50%.

Saat ini, prospek negara-negara yang terlilit utang sangat suram mengingat lambatnya pertumbuhan ekonomi mereka. Negara-negara berkembang tidak mempunyai uang untuk membiayai pendidikan, infrastruktur, teknologi, dan layanan kesehatan. Menurut IMF, sekitar 60 persen negara berpendapatan rendah berada dalam atau berisiko tinggi mengalami kesulitan utang.

Pada saat yang sama, diperlukan triliunan dolar tambahan untuk melindungi negara-negara rentan ini dari cuaca ekstrem dan memungkinkan mereka memenuhi tujuan iklim internasional.

Sekembalinya dari Pertemuan Vatikan, Joseph Stiglitz, mantan kepala ekonom di Bank Dunia, mengatakan bahwa selama kampanye utang Jubilee tahun 2000, “ada optimisme bahwa kita telah mengambil pelajaran,” dan bahwa program pengampunan utang akan “memecahkan masalah di masa depan.”

Namun, faktanya, ia mengatakan hal itu “Jelas belum,” tercipta hingga saat ini. Malahan “masalahnya menjadi jauh lebih buruk daripada yang kita bayangkan 25 tahun lalu.”

[Gambas:Video CNBC]


(fsd/fsd)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *