
TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti dari Universitas Islam Indonesia atau UII Listya Endang Artiani mengatakan terdapat kesenjangan antara laju pertumbuhan indeks harga ekspor (IHX) dan indeks harga impor (IHM) Indonesia pada kuartal I 2025. Menurut Listya, jika tren kesenjangan ini tak segera ditangani, konsekuensinya bisa sangat serius.
“Indeks harga ekspor dan impor adalah cermin dari efektivitas industrialisasi dan arah pembangunan ekonomi. Ketika IHX tertinggal dari IHM, maka kita sedang menyaksikan retaknya daya saing struktural yang selama ini ditutupi oleh angka-angka makro yang semu,” katanya dalam keterangan tertulis kepada Tempo, Jumat, 13 Juni 2025.
Berdasarkan data terbaru IHX dan IHM Indonesia kuartal pertama 2025 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), IHX tumbuh 2,77 persen antar kuartal atau quarter-to-quarter (q-to-q) dan 6,04 persen secara tahunan atau year-on-year (YoY). Sedangkan IHM naik 2,69 persen secara q-to-q dan 7,82 persen dalam YoY.
Listya mengatakan, sekilas angka tersebut menunjukkan perdagangan luar negeri yang aktif. Namun, jika dicermati secara saksama, kata dia, terdapat kesenjangan antara laju pertumbuhan IHX dan IHM yang menunjukkan arah yang mengkhawatirkan: memburuknya Terms of Trade (ToT) Indonesia.
“ToT yang melemah berarti bahwa Indonesia harus mengekspor lebih banyak untuk mendapatkan nilai impor yang sama, dan hal ini sebuah penurunan posisi tawar yang nyata dalam perdagangan internasional,” kata dosen di Fakultas Bisnis dan Ekonomika, UII, Yogyakarta ini.
Menurut Listya, konsekuensi serius dari tren kesenjangan antara IHX dan IHM jika tak segera ditangani bisa berupa defisit Neraca Transaksi Berjalan (CAD) kembali membayangi ketika nilai impor lebih besar dari ekspor. Ada puka potensi tekanan terhadap cadangan devisa karena Indonesia butuh lebih banyak dolar untuk biaya impor strategis seperti energi, bahan pangan, dan teknologi.
Tak hanya itu, nilai tukar dalam jangka menengah akan melemah, yang akan menciptakan lingkaran setan kenaikan biaya produksi dan inflasi berbasis impor (imported inflation). Lebih jauh lagi, daya saing industri domestik akan terus tergerus, dan Indonesia akan terjebak dalam middle income trap akibat ketidakmampuan bertransformasi ke ekonomi berbasis inovasi.
Dari Narasi Makro ke Diagnosa Struktural
Listya mengatakan, sering kali pemerintah mengandalkan surplus neraca perdagangan sebagai ukuran keberhasilan. Namun jika surplus itu berasal dari barang mentah dengan harga fluktuatif, maka stabilitas yang tercipta hanyalah semu. Justru indikator seperti IHX-IHM memperlihatkan seberapa kuat core competitiveness ekonomi nasional.
Menurut Listya, daya saing bukan diukur dari volume ekspor, tetapi dari kemampuan menghasilkan produk bernilai tinggi dengan efisiensi tinggi. Ketika produk ekspor Indonesia masih kalah kualitas, kalah teknologi, dan kalah inovasi, maka struktur ekspor akan selalu rentan terhadap guncangan global.
“Data IHX-IHM mestinya menjadi early warning system bagi para pengambil kebijakan untuk segera mempercepat transformasi struktural,” katanya.
Beberapa langkah strategis yang perlu diambil antara lain:
1. Mendorong substitusi impor strategis, terutama di sektor intermediate goods dan barang modal.
2. Meningkatkan kualitas hilirisasi dengan insentif untuk riset, rekayasa, dan desain produk, bukan hanya proses smelting atau pengemasan.
3. Memperluas basis industri manufaktur berbasis teknologi melalui ekosistem yang mendukung inovasi dan produksi domestik berorientasi ekspor.
4. Mengkaitkan kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan dalam kerangka yang satu visi: meningkatkan nilai tambah nasional.
Listya mengingatkan, membaca IHX-IHM secara kritis bukan hanya pekerjaan ekonom, tetapi juga tuntutan bagi pembuat kebijakan untuk menyusun strategi yang berani dan berpihak pada transformasi struktural. Indonesia tidak boleh puas dengan menjadi pemasok bahan mentah.
“Kita harus menjadi produsen nilai tambah. Dan untuk itu, data yang benar harus dibaca dengan keberanian politik yang nyata,” kata dosen Jurusan Ekonomi UII ini.