by admin admin No Comments

RI Simpan Harta Karun Langka Incaran Dunia, Ada di 2 Wilayah Ini

Jakarta, CNBC Indonesia – Indonesia diam-diam menyimpan potensi ‘harta karun langka’ dalam hal ini sumber daya mineral logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth element. Salah satu provinsi yang menjadi sorotan yakni Sulawesi Barat, tepatnya di wilayah Mamuju.

Pasalnya, dua wilayah di Mamuju tercatat sebagai wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) logam tanah jarang pertama di Indonesia. Karena itu, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mendorong agar dua wilayah ini dapat segera dilelang.

Kepala Badan Geologi Muhammad Wafid mengatakan lelang WIUP LTJ tersebut sejatinya tinggal menunggu lampu hijau. Mengingat semua rekomendasi dari Badan Geologi sudah dilakukan.

“Kalau kami pengennya segera dapat dilelang karena kami terus menyusul yang lain gitu,” ungkap Wafid di Gedung Kementerian ESDM, dikutip Minggu (11/5/2025).

Di samping itu, pihaknya juga telah melaporkan terkait usulan tersebut kepada Menteri ESDM. Adapun Menteri ESDM memberikan arahan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) untuk melakukan lelang.

“Kita mencoba mengusulkan dua wilayah kalau tidak salah ya untuk LTJ, saya kira tinggal di follow up sama Dirjen Minerba ini,” kata Wafid.

Badan Geologi memang gencar melakukan kegiatan eksplorasi “harta karun super langka” alias Logam Tanah Jarang (LTJ) selama beberapa tahun terakhir ini.

Sejak 2021, setidaknya ada beberapa lokasi yang sudah dieksplorasi, yakni Bangka dan Belitung pada 2021 dan Mamuju, Sulawesi Barat dan Parmonangan di Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada 2022 lalu.

Sebagaimana diketahui, Indonesia digadang-gadang mempunyai potensi harta karun LTJ yang cukup besar. Namun demikian, pemetaannya hingga kini dinilai masih belum optimal.

Wakil Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Bidang Mineral, Yoseph C.A Swamidharma mengungkapkan Indonesia sejatinya sudah mulai melakukan kegiatan eksplorasi untuk pengembangan LTJ. Meski begitu, kegiatan eksplorasinya belum terlalu mendetail.

Ia pun mendorong agar eksplorasi yang telah dilakukan dapat di detailkan kembali. Pasalnya, kandungan LTJ yang ada di Indonesia berbeda dengan kandungan LTJ di benua-benua besar seperti Australia, China, Brazil, dan Amerika.

“Yang ada di Indonesia memang turunanya, jadi bisa dikatakan bukan konsentrasi yang utama tapi tidak menutup kemungkinan konsentrasi yang tidak utama itu bisa besar,” kata dia dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, dikutip Jumat (13/9/2023).

Yoseph mencontohkan bahwa Logam tanah jarang di Indonesia merupakan produk ikutan dari mineral timah. Misalnya seperti monasit dan zirkon.

“Saat ini yang sedang mengeksplorasi itu justru dilakukan oleh orang pihak ketiga saya kira pihak swasta di luar pemerintah Indonesia, jadi catatan-catatan belum dimasukan dalam inventory kita,” katanya.

(pgr/pgr)

Next Article Ternyata RI Simpan Harta Karun Langka, Diincar Dunia!

by admin admin No Comments

Cara Warga Desa Mata Redi di Sumba Tengah NTT Mengelola PLTS

TEMPO.CO, Sumba Tengah – Jeni Rambu Leki Nguju tampak tergesa-gesa menuju rumahnya yang hanya sepelemparan batu dari Balai Desa Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur (NTT). Sore itu, Jeni dan puluhan warga desa baru saja selesai menggelar rapat umum Badan Milik Desa (BUMDes) yang berlangsung seharian.

Awan mendung yang menggelayut sejak sore membikin gelap datang lebih cepat dari biasanya di Desa Mata Redi. “Aih, mama punya rumah belum kasih hidup lampu. Adik, mari di rumah saja mengobrol. Minum teh dulu toh,” ujarnya.

Dari kejauhan, cahaya lampu terlihat memancar dari rumah warga, menyelinap di sela-sela batang pepohonan. Setelah bertahun-tahun diliputi kegelapan, kini warga bisa menikmati penerangan setelah dua unit Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) mengalirkan listrik ke rumah warga sejak tiga tahun lalu.

Sebelum kehadiran PLTS, Jeni dan warga lainnya tidak pernah mendapat jawaban pasti mengapa kabel PLN terlalu pendek untuk bisa menjangkau desa mereka. Bagi Jeni, setidaknya untuk saat ini, ia tak lagi membutuhkan jawaban itu. “Sekarang kami sudah punya PLTS, ini adalah harapan kami, kebanggaan kami,” katanya.

Penampakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenngara Timur, Sabtu, 10 Mei 2025. Berkapasitas 95 kWp, PLTS ini mampu mengaliri listrik untuk 234 rumah warga yang ssbelumnya diliputi kegelapan selama bertahun-tahun. Dok. Program Mentari.

Mata Redi merupakan salah satu desa yang baru saja lepas dari status terpencil di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur. Desa ini berjarak sekitar 20 kilometer dari ibukota kabupaten. Mata Redi terpaut jarak sekitar lima kilometer dari ruas jalan lintas provinsi yang menghubungkan pantai utara dengan selatan Pulau Sumba.

Kepala Desa Mata Redi Adrianus Umbu Ratua mengatakan, Desa Mata Woga yang bertetangga dengan Mata Redi sudah teraliri listrik PLN sejak 2010 lalu. Padahal jarak kedua desa ini tidak begitu jauh. 

Berdasarkan penjelasan pemerintah kabupaten, kata Adrianus, PLN enggan mengembangkan jaringan listrik di Mata Redi karena menelan biaya tinggi. “Kami sering mendorong pemerintah untuk adakan listrik, tetapi sesering itu pula tidak ada kepastian, tidak ada jawaban. Kami terus gelap dan mengandalkan pelita untuk penerangan,” kata Adrianus.

Punya populasi sekitar 940 jiwa, Mata Redi merupakan desa dengan jumlah penduduk paling sedikit di Kecamatan Katikutana. Menurut Adrianus, pola permukiman warga yang tersebar dan berjauhan, bahkan ada yang di atas bukit, menjadi tantangan tersendiri dalam pembangunan infrastruktur.

Penantian panjang warga akhirnya terjawab melalui program Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia (Mentari). Program ini merupakan kerja sama antara pemerintah Inggris dan Indonesia. Menelan anggaran Rp 16 miliar, dua unit PLTS berkapasitas masing-masing 60 kWp dan 35 kWp didirikan untuk melayani 234 rumah yang tersebar di empat dusun. Total panjang jaringan kabel listrik jika dihitung dari titik pembangkit sekitar 11 hingga 12 kilometer.

Direktur Program Mentari Dedy Haning mengatakan butuh dua tahun untuk mempersiapkan sumber daya manusia di desa ini sebelum PLTS dibangun. Warga terlibat sejak awal agar mereka merasa memiliki dan bertanggung jawab atas keberlangsungan pembangkit.

Penampakan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Mata Redi, Sumba Tengah, Nusa Tenngara Timur, Sabtu, 10 Mei 2025. Berkapasitas 95 kWp, PLTS ini mampu mengaliri listrik untuk 234 rumah warga yang ssbelumnya diliputi kegelapan selama bertahun-tahun. Dok. Program Mentari.

“Kalau hanya dibangun lalu ditinggal, PLTS tidak akan bertahan lama. Kami ingin warga jadi pelaku utama, bukan sekadar penerima manfaat,” kata Dedy.

Ketika merancang pembangunan PLTS pada 2020, Dedy dan timnya rutin mendampingi warga dalam mengelola BUMDes. Selain menjadikan PLTS sebagai unit usaha utama, warga juga dilatih mengembangkan usaha lain seperti mengolah hasil pertanian berupa serai wangi dan jahe menjadi produk bernilai tambah.

Meski PLTS dibangun dengan dana hibah, warga tetap membayar iuran tetap sebesar Rp 50 ribu per bulan, terlepas dari besar-kecilnya pemakaian listrik. Dana tersebut dikelola oleh BUMDes untuk membiayai operator dan biaya perawatan pembangkit.

Rita mengatakan dua orang pemuda Mata Redi juga telah mendapatkan pelatihan dan sertifikasi sebagai operator PLTS. Dengan begitu, dia berharap setelah program pendampingan berakhir, mereka bisa mengelola PLTS tersebut secara mandiri dan berkelanjutan.

“Kami ingin memastikan bahwa setelah kami pergi, pembangkit ini tetap berjalan dan dikelola secara berkelanjutan oleh warga sendiri,” ujar Rita.

by admin admin No Comments

Trump Berubah Pikiran, Tarif China Turun Jadi 80%

Jakarta, CNBC Indonesia – Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China masih berlangsung panas. Kedua kekuatan ekonomi terbesar dunia itu saling balas menetapkan tarif tinggi untuk impor barang dari masing-masing negara.

Terbaru, Presiden AS Donald Trump memberikan sinyal akan menurunkan tarif yang sudah berlaku saat ini sebesar 145% menjadi 80%. Hal itu diungkap melalui akun media sosial personalnya.

“China harus membuka pasarnya untuk AS. Ini akan sangat baik bagi mereka!!! Pasar tertutup tidak lagi berfungsi!!!”, tulis Trump dalam unggahan media sosial.

“Tarif 80% untuk China tampaknya tepat. Terserah Scott B.,” ia menambahkan beberapa saat selanjutnya.

Sebagai informasi, Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan kepala negosiator perdagangan Jamieson Greer akan bertemu dengan kepala ekonomi China, He Lifeng, di Jenewa, Swiss.

Mereka akan melakukan negosiasi sebagai langkah pertama menuju penyelesaian sengketa perdagangan yang telah menjerat rantai pasokan global.

Kementerian Luar Negeri China beberapa saat lalu mengatakan perang dagang melalui tarif tinggi yang dilancarkan AS sebagai taktik ekonomi yang kasar dan menindas. Pemerintah China menekankan pihaknya menentang keras cara AS yang dinilai tidak berkelanjutan.

Dalam beberapa pekan terakhir, Trump sudah mengindikasikan niatan untuk menurunkan hukuman tarif ke China. Namun, baru kali ini Trump lantang menyebut angka 80%.

Meskipun tarif 80% sudah dipangkas hampir setengah dari yang berlaku saat ini, tetapi nominalnya masih sangat tinggi. Dampak tarif ini sudah berdampak ke berbagai sektor bisnis. Bukan hanya di AS dan China, tetapi juga di seluruh belahan dunia.

Kebijakan tarif AS direspons China dengan menetapkan tarif balas dendam hingga 125%. China juga mengenakan pungutan tambahan pada beberapa produk termasuk kacang kedelai dan gas alam cair.

Negosiasi pada akhir pekan ini di Jenewa telah dijelaskan oleh pejabat pemerintahan Trump sebagai langkah menuju penurunan ketegangan dengan China. Penasihat ekonomi Gedung Putih Kevin Hassett mengatakan pertemuan itu tampak “sangat menjanjikan” bagi AS.

Dorongan Trump pada tarif secara luas dipandang sebagai peningkatan risiko bagi ekonomi AS. Muncul kekhawatiran bahwa tarif akan menaikkan harga bagi konsumen dan bisnis AS secara keseluruhan. Hal ini bisa kembali memicu inflasi.

Trump sudah mendapat protes dari warga AS karena kekhawatiran harga-harga barang melonjak. Pasalnya, barang-barang konsumen yang beredar di AS seperti pakaian, perangkat elektronik, mainan anak, banyak diproduksi oleh pabrik-pabrik China.

Di saat bersamaan, pemerintah China berupaya mengurangi penutupan, kebangkrutan, dan PHK pada lini bisnis yang terkena dampak besar dari tarif AS.

(fab/fab)


Next Article Petaka Trump Makin Ganas, Harga Mobil Naik Gila-gilaan

by admin admin No Comments

Menengok PLTS di Loko Kalada NTT yang Layu Sebelum Berkembang

TEMPO.CO, Tambaloka – Penantian panjang warga Desa Loko Kalada akan kehadiran listrik baru bisa terwujud dua tahun lalu. Kala itu, Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) berkapasitas 30 kWp di salah satu desa terpencil di Kabupaten Sumba Barat Daya itu.

Logo

PLTS di Loko Kalada merupakan satu dari 42 pembangkit yang dibangun menggunakan Dana Alokasi Khusus (DAK) di Pulau Sumba. Pembangunannya menelan anggaran Rp 3,6 miliar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, berdasarkan pengakuan Paulina Kabili, kehadiran PLTS tidak sepenuhnya membuat warga leluasa menggunakan listrik. Perempuan 37 tahun ini bercerita, PLTS hanya berfungsi secara normal setahun pertama sejak diresmikan pada 2023.

Setelah itu, kata dia, pembangkit acap kali bermasalah. “Setahun terakhir ini tidak selalu bisa digunakan, pernah sebulan tidak bisa hidup,” kata Paulina, Kamis, 8 Mei 2025.

Bangunan PLTS tersebut berada persis di pekarangan belakang rumah Paulina. Pembangkit tersebut berlokasi di lahan dengan luas sekitar setengah lapangan tenis. Jika dilihat dari dekat, kondisi panel surya di PLTS tersebut tampak masih baru. Begitu pula dengan ruangan instalasi dan baterai yang berfungsi untuk menyimpan listrik.

Tempo melihat langsung ke dalam ruang operator instalasi PLTS tersebut. Namun layar monitor yang seharusnya menampilkan informasi arus listrik yang mengalir ke rumah warga, tidak menyala. Selain menampilkan indikator arus listrik, kata Paulina, biasanya monitor itu juga memberikan informasi mengenai status pengisian baterai di instalasi PLTS. 

Sistem pengatur arus listrik di PLTS Desa Loko Kalada itu sudah tidak berfungsi dengan baik. Akibatnya warga hanya bisa mengandalkan listrik dari baterai saja. Padahal saat siang hari idealnya inverter yang mengkonversi sinar matahari menjadi arus listrik AC bisa langsung disalurkan ke transmisi yang terhubung langsung ke rumah-rumah warga.

Paulina berujar, saat baru beroperasi, warga masih bisa menggunakan listrik langsung dari inverter dari pagi hingga siang hari. Ketika matahari mulai meredup, barulah cadangan listrik yang tersimpan dalam baterai dinyalakan. Namun, kata Paulina, sistem seperti itu tidak berfungsi lagi dalam setahun terakhir.

“Kalau PLTS diaktifkan untuk mengalirkan listrik pada siang hari, malam tidak bisa dipakai sudah. Jadi sekarang menyala saat malam saja. Itu pun hanya untuk penerangan,” ujar Paulina.

Selain masalah pada sistem inverter, Paulina mengatakan baterai di PLTS itu juga tidak mampu lagi menyimpan listrik hingga 100 persen. Dia mengatakan saat ini pengisian baterai hanya bisa hingga 49 persen. “Bahkan tidak pernah sampai 50 persen,” katanya.

Selain kapasitas baterai yang tidak memadai, ketiadaan teknisi yang rutin mengontrol PLTS membuat pemanfaatan energi surya di Loko Kalada menjadi terbatas. Padahal desa ini berada di punggung bukit yang cukup terbuka dengan paparan sinar matahari berlimpah.

“Kami tidak tahu bagaimana cara mekaniknya. Yang kami lihat hanya di layar. Kalau begini-begini, ya, berarti ini tidak mampu lagi,” kata Paulina.

Kepala Desa Loko Kalada Fransiskus Asisi Ngongobili mengatakan sebelumnya memang pernah ada operator tetap yang rutin mengontrol PLTS di desa itu. Operator tersebut juga telah mendapatkan pelatihan yang diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten.

Namun, kata Fransiskus, operator yang dilatih bukan berasal dari Loko Kalada. Akibatnya, tidak ada yang bisa menangani dengan sigap jika terjadi kendala. Masalah lainnya adalah soal biaya perawatan.

Sebelumnya, warga sempat urunan untuk membiayai operasional operator. Namun hal itu tidak berlangsung secara berkelanjutan. “Mereka bilang matahari kenapa mesti kita bayar. Tapi saya bilang, alatnya ini bisa rusak kalau tidak dirawat,” kata Fransiskus. 

Kini, dia melanjutkan, seorang guru yang juga warga setempat bernama Milkianus, menjadi operator tidak resmi yang mengawasi operasional PLTS. Fransiskus mengatakan warga pengguna PLTS saat ini tidak dikenakan biaya apapun alias gratis.

Namun inisiatif untuk membayar iuran sempat digagas kembali demi menjamin keberlanjutan dan perawatan fasilitas. Sayangnya, wacana tersebut tidak mendapat sambutan. 

Saat ini sebanyak 47 kepala keluarga menjadi penerima manfaat PLTS tersebut. Dengan rata-rata anggota keluarga 5–9 orang, sekitar 300-an jiwa bisa menggunakan listrik walaupun tidak maksimal.

Sebelum ada PLTS, warga harus membawa ponsel mereka ke desa tetangga untuk mengisi daya. Kini, mereka bisa mengecas di rumah meski harus berbagi beban listrik dengan hati-hati. Sebagian warga hanya menggunakan listrik untuk penerangan dan mengisi daya ponsel.

Namun ada pula yang mencoba menggunakan kulkas, TV, atau peralatan lain, yang justru membebani sistem. “Ketidakseimbangan penggunaan ini membuat sistem sering mati dan berdampak pada seluruh pengguna,” ujar Fransiskus.

Fransiskus mengatakan warga berharap ada perhatian lanjutan dari pemerintah agar PLTS dapat berfungsi maksimal. Selain soal teknisi dan perawatan, mereka juga ingin sistem iuran bisa dijalankan secara kolektif agar keberlangsungan PLTS tetap terjaga.

Rita Kefi, yang ikut menemani Tempo mengunjungi Desa Loko Kalada, mengatakan, persoalan itu terjadi karena pemerintah tidak mendampingi warga dalam mengelola PLTS. Setelah instalasi dan jaringan kabel dibangun, warga dibiarkan sendirian tanpa pendampingan yang memadai. 

Rita bekerja untuk program bertajuk Menuju Transisi Energi Rendah Karbon Indonesia atau Mentari. Program ini terwujud berkat kerja sama pemerintah Inggris dan Indonesia. Salah satu fokusnya yaitu pengembangan energi surya di Pulau Sumba. “Harusnya tidak langsung dibangun, kemudian ditinggalkan begitu saja,” ujarnya merujuk kepada buruknya pengelolaan PLTS di Loko Kalada.

Saat ini Rita sedang mendampingi warga Desa Mata Redi, Kabupaten Sumba Tengah, dalam pengelolaan PLTS. Berbeda dengan di Loko Kalada, PLTS di Mata Redi dibangun menggunakan dana hibah dari pemerintah Inggris yang disalurkan kepada Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM. Dalam hal ini program Mentari bertindak sebagai pendamping warga penerima manfaat.

Rita mengatakan PLTS di Mata Redi dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Warga wajib membayar Rp 50 ribu tiap bulannya untuk biaya operasional operator. Sebelum pembangunan PLTS di sana, butuh waktu satu tahun untuk mengedukasi warga tentang skema pembiayaan PLTS hingga membentuk BUMDes. 

“Idealnya harus ada manajemen pengelolaan yang tepat. Warga juga harus ikut berpartisipasi sehingga punya rasa memiliki. Tapi pemerintah tidak melihat itu saat membangun PLTS di Loko Kalada ini,” kata Rita. “Mereka bangun, lalu tinggalkan tanpa pendampingan.”

Rita mengatakan program Mentari tidak bisa mengintervensi PLTS di Loko Kalada karena tidak terlibat sejak awal. Meski demikian, dia mengatakan sudah memfasilitasi pelatihan kepada operator PLTS. Namun, dia mengakui untuk pendampingan warga serta membentuk BUMDes seperti di Mata Redi, sulit untuk dilakukan saat ini. “Kami tidak bisa intervensi di tengah jalan,” ujarnya.

by admin admin No Comments

Wow! Bill Gates Berniat Sumbang 99% Kekayaan Hingga 2045

Jakarta, CNBC Indonesia – Pendiri Microsoft Bill Gates mengatakan ia bermaksud menyumbangkan 99% dari kekayaannya yang sangat besar selama 20 tahun ke depan. Hal ini disampaikan dalam sebuah posting blog yang dikutip BBC News, Kamis (8/5/2025).

Dalam pernyataan itu, Gates mengatakan bahwa ia akan mempercepat pemberiannya melalui yayasannya. Ia juga berencana untuk mengakhiri operasi pembagian kekayaan ini pada tahun 2045.

“Orang-orang akan mengatakan banyak hal tentang saya ketika saya meninggal, tetapi saya bertekad bahwa ‘dia meninggal dalam keadaan kaya’ tidak akan menjadi salah satu dari mereka,” tuturnya.

Gates, 69 tahun, mengatakan bahwa yayasannya yang bernama sama telah memberikan US$ 100 miliar (Rp 1.640 triliun) untuk proyek-proyek kesehatan dan pembangunan. Ia berharap yayasan tersebut akan menghabiskan US$ 200 miliar (Rp 3.280 triliun) lagi, tergantung pada pasar dan inflasi, selama dua dekade ke depan.

Dalam posting blognya, Gates mengutip esai tahun 1889 oleh taipan Andrew Carnegie yang berjudul The Gospel of Wealth, yang menyatakan bahwa orang kaya memiliki kewajiban untuk mengembalikan kekayaan mereka kepada masyarakat.

“Orang yang meninggal dalam keadaan kaya akan meninggal dalam keadaan malu,” tulisnya.

Ikrar terbarunya merupakan percepatan dalam pemberian amal. Awalnya, ia dan mantan istrinya Melinda telah merencanakan cara-cara agar Yayasan Gates terus bekerja selama beberapa dekade setelah kematian mereka.

Ketika ditanya tentang perubahan ini, Gates mengatakan kepada BBC’s Newshour pada hari Kamis bahwa akan ada orang kaya lainnya dalam 20 tahun yang dapat mengatasi tantangan masa depan dengan lebih baik.

“Ini benar-benar tentang urgensi,” katanya. “Kita dapat menghabiskan lebih banyak uang jika kita tidak berusaha untuk terus-menerus, dan saya tahu bahwa pengeluaran tersebut akan sejalan dengan nilai-nilai saya.”

Harta Yang Tak Habis

Menyumbangkan 99% kekayaannya masih bisa menjadikan Gates sebagai miliarder. Dalam data Bloomberg, Gates saat ini masih memiliki kekayaan hingga US$ 108 miliar (Rp 1.787 triliun). Gates juga mengatakan yayasan tersebut akan menarik dana abadinya untuk menyumbangkan US$ 200 miliar.

Bersama Paul Allen, Gates mendirikan Microsoft pada tahun 1975, dan perusahaan tersebut menjadi kekuatan dominan dalam perangkat lunak komputer dan industri teknologi lainnya. Gates secara bertahap telah mundur dari perusahaan tersebut pada abad ini, mengundurkan diri sebagai kepala eksekutif pada tahun 2000 dan sebagai ketua pada tahun 2014.

Ia mengatakan bahwa ia terinspirasi untuk menyumbangkan uang oleh investor Warren Buffett dan filantropis lainnya. Ia juga menguraikan tiga tujuan utama yayasannya yakni memberantas penyakit yang dapat dicegah yang membunuh ibu dan anak, memberantas penyakit menular termasuk malaria dan campak, serta memberantas kemiskinan bagi ratusan juta orang.

Gates juga mengkritik Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis karena memangkas anggaran bantuan luar negeri mereka. Pasalnya, hal ini dapat memperparah program-program jaminan sosial, yang ujungnya menjatuhkan masyarakat pada kemiskinan.

“Tidak jelas apakah negara-negara terkaya di dunia akan terus membela rakyatnya yang termiskin,” tulisnya. “Namun satu hal yang dapat kami jamin adalah, dalam semua pekerjaan kami, Yayasan Gates akan mendukung upaya untuk membantu orang dan negara keluar dari kemiskinan.”

Ia lebih tegas dalam wawancara dengan Newshour, saat ditanya tentang komentarnya yang menuduh miliarder teknologi Elon Musk membunuh anak-anak melalui pemotongan bantuan AS yang dilakukan oleh Departemen Efisiensi Pemerintah, atau DOGE.

“Pemotongan ini tidak hanya akan membunuh anak-anak, tetapi jutaan anak,” jawab Gates. “Anda tidak akan menyangka orang terkaya di dunia akan melakukannya.”

(tps/tps)

Next Article Bill Gates Tiba di Istana, Prabowo Sambut Langsung-Perkenalkan Menteri