by admin admin No Comments

Apa yang Harus Dilakukan saat Narasumber Menjawab Pertanyaan Kita?

Ilustrasi Apa yang Harus Dilakukan saat Narasumber Menjawab Pertanyaan Kita. Sumber: Pexels/Alex Green
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Apa yang Harus Dilakukan saat Narasumber Menjawab Pertanyaan Kita? Ini Jawabannya

Ilustrasi Apa yang Harus Dilakukan saat Narasumber Menjawab Pertanyaan Kita. Sumber: Pexels/Alex Green
ADVERTISEMENT

Tip Agar Narasumber Nyaman Saat Sesi Wawancara

Ilustrasi Apa yang Harus Dilakukan saat Narasumber Menjawab Pertanyaan Kita. Sumber: Pexels/Tima Miroshnichenko
ADVERTISEMENT
by admin admin No Comments

Pemutihan Utang Petani dan Nelayan: Pernah Jadi Janji Ganjar, Kini Dilaksanakan Prabowo

TEMPO.CO, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto akan memutihkan utang enam juta petani dan nelayan kepada perbankan sejak krisis moneter 1998. 

Hal itu dikatakan adik kandung Prabowo, Hashim Djojohadikusumo, yang mengatakan Prabowo akan segera meneken Peraturan Presiden pemutihan terhadap utang petani dan nelayan. Perpres tersebut saat ini sedang disiapkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

Masalah utang tak terbayar ini sebelumnya diungkap calon presiden Ganjar Pranowo ketika berkampanye.  Ia mengatakan, akan menghapus utang macet dalam bentuk Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang  jumlahnya mencapai Rp600 miliar.

Menurut Hashim, para petani dan nelayan yang memiliki utang itu saat ini terpaksa tidak bisa meminjam uang lagi dari perbankan. Sebab, mereka selalu ditolak setiap kali datanya masuk di sistem layanan informasi keuangan (SLIK) di Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Padahal, kata Hashim, sebenarnya utang para petani dan nelayan itu sudah dihapus dan dibekukan oleh bank sejak lama. Namun, hak tagih dari bank belum dihapus.

“Maka tidak bisa dapat kredit, mereka ke mana? Ke rentenir dan pinjol,” ucap Hashim. “So, waktu itu saya sampaikan ke Pak Prabowo, ini harus diubah.”

Rencana ini disambut para petani dan nelayan. Ketua Serikat Petani Indonesia, Henry Saragih, mengatakan, kegagalan pelunasan utang atau kredit para petani ke bank tidak sepenuhnya kesalahan dari petani, namun ada pengaruh dari krisis moneter di era Orde Baru.

“Pada dasarnya, kami setuju diputihkan sekarang karena menurut kami (utang) tidak terbayarkan ataupun sebagian belum dibayarkan, itu tidak sepenuhnya letak kelemahannya di petani. Tetapi memang suasananya ketika itu (krisis),” kata Henry ketika dihubungi pada Jumat, 25 Oktober 2024.

Namun, Henry mengatakan perlu dipastikan pemutihan utang ini apakah berlaku untuk seluruh utang petani atau hanya utang yang dikredit dalam jangka waktu tertentu, yaitu di sekitaran tahun 1998. Henry juga menambahkan, bagi para petani yang ingin kembali berutang setelah utang sebelumnya diputihkan, ada baiknya diberikan semacam catatan khusus.

“Kalau dia mau menerima kredit yang baru, dia mungkin perlu buat suatu pernyataan khususlah, supaya dia jangan berpikir, wah ini nanti nggak dibayar, juga sama kayak yang dulu bisa diputihkan,” ujar Henry.

Henry mengatakan, setelah pemutihan terhadap utang petani selama era Orde Baru bisa terlaksana, pemutihan terhadap beberapa utang petani lainnya yang terjadi setelah masa tersebut juga bisa ikut dikaji, perlu atau tidaknya untuk ikut diputihkan.

Tanggapan Pihak Bank

Direktur Keuangan PT Bank Syariah Indonesia (Persero) Tbk. atau BSI, Ade Cahyo Nugroho, angkat bicara merespons rencana Presiden memutihkan utang enam juta orang petani dan nelayan. 

Scroll Untuk Melanjutkan

Ade menyambut baik hal tersebut karena bisa jadi peluang perbankan untuk menambah jumlah nasabah. Pasalnya, nasabah yang memiliki permasalahan kredit di masa lalu bisa jadi telah mengalami perbaikan.

“Kita tahu kan, ada banyak nasabah yang di masa lalu, entah karena cerita apa mengalami kesulitan membayar. Ini niat baik Pak Presiden baru untuk membuka kesempatan bagi mereka,” kata Ade dalam Indonesia Industry Outlook 2025 yang digelar secara daring, Kamis, 24 Oktober 2024.

Menurut Ade, nasabah yang mengalami permasalahan pembayaran kredit di masa lalu umumnya masuk ke daftar hitam atau black list. Sehingga, kata dia, tidak bisa mengakses layanan perbankan selamanya.

Pada forum yang sama, SEVP Digital Business PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. atau BTN, Thomas Wahyudi, menilai hal tersebut sebagai rencana baik. Terutama, untuk keberlangsungan ekonomi sebagian kalangan masyarakat.

“Ini membuka peluang baru bagi perbankan untuk tap market,” kata Thomas.

Sebelumnya, kabar rencana penerbitan Peraturan Presiden untuk pemutihan utang jutaan petani disebut oleh Hashim Djojohadikusumo pada Dialog Ekonomi Kadin bersama Pimpinan Dewan Kadin Indonesia di Menara Kadin, Jakarta, Rabu, 23 Oktober 2024. Adik Prabowo itu berkata Perpres ini sedang disiapkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas.

Berdasarkan temuannya, Hashim mengatakan, jutaan petani dan nelayan masih terbebani utang-utang lama akibat krisis moneter yang pernah terjadi di Indonesia. Ia menyebut, ada sekitar lima hingga enam juta petani dan nelayan yang memiliki utang.

Ade menambahkan, pihak perbankan tentunya telah memiliki mekanisme terperinci untuk mengetahui kemampuan bayar nasabah. Selain itu, menurutnya recovery rate nasabah yang mengalami permasalahan kredit di masa lalu ini sudah sangat kecil.

“Jadi sudah nggak bisa kita apa-apain,” katanya. Sehingga, ia menilai rencana itu jadi potensi untuk menjaring konsumen potensial baru bagi perbankan.

Oyuk Ivani Siagian, Hammam Izuddin ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Pilihan Editor Kronologi Sritex: Dinyatakan Pailit, Coba Kasasi dan Upaya Pemerintah Menyelamatkannya

by admin admin No Comments

Penggunaan Bahasa dalam Iklan Lengkap dengan Tujuannya

Ilustrasi bagaimana penggunaan bahasa dalam iklan. Foto: Unsplash/Saketh
ADVERTISEMENT
ADVERTISEMENT

Bagaimana Penggunaan Bahasa dalam Iklan

Ilustrasi bagaimana penggunaan bahasa dalam iklan. Foto: Unsplash/Wayne Zheng
ADVERTISEMENT

Tujuan Bahasa Iklan

Ilustrasi bagaimana penggunaan bahasa dalam iklan. Foto: Unsplash/Josh Sanabria
ADVERTISEMENT
by admin admin No Comments

5 Hasil Survei Persepsi Petani 2024: Sulit Akses Irigasi Hingga Penurunan Produksi Padi

TEMPO.CO, Jakarta – Hasil Survei Persepsi Petani 2024 yang dilakukan terhadap 304 petani di seluruh Indonesia mengungkapkan kondisi pertanian yang semakin memprihatinkan. Survei ini dilaksanakan pada 10-20 September 2024 oleh LaporIklim, Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Tani dan Nelayan Center (TNC), serta Gerakan Petani Nusantara (GPN).

1. Petani Sulit Akses Perbaikan Irigasi

Temuan tersebut menegaskan bahwa para petani semakin pesimis melihat masa depan sektor pertanian, terutama karena masalah agraria yang tak kunjung terselesaikan, lahan garapan yang semakin sempit, dan kedaulatan pangan yang terasa kian jauh dari jangkauan.  

Kepala Tani dan Nelayan Center, Hermanu Triwidodo, menjelaskan bahwa survei ini menunjukkan betapa akses petani terhadap sumber daya pertanian masih sangat terbatas. Sebanyak 30,6 persen petani melaporkan tidak ada perbaikan dalam akses irigasi.

Selain itu, 35,9 persen petani mengaku kesulitan mendapatkan pupuk, sementara 43,8 persen mengatakan mereka tidak memiliki akses permodalan yang memadai. Tak hanya itu, hampir separuh responden, tepatnya 47 persen, merasa lahan yang mereka garap tidak cukup untuk menunjang produktivitas.  

2. Bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia

Menurut Hermanu, data ini memperlihatkan bahwa upaya pemerintah dalam memperbaiki akses ke sumber daya produksi masih jauh dari memadai. Dibandingkan survei serupa pada 2018, kondisi akses irigasi, pupuk, permodalan, dan lahan justru memburuk atau stagnan. Ini menunjukkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir, persoalan mendasar dalam sektor pertanian belum teratasi.  

Survei tersebut bertepatan dengan Hari Pangan Sedunia yang diperingati setiap 16 Oktober. Tema tahun ini, “Right to Foods for a Better Life and a Better Future,” selaras dengan isu-isu yang diangkat dalam survei. Krisis iklim dan kebijakan agraria yang tidak berpihak semakin menyulitkan petani untuk mendapatkan lahan dan sumber daya. Situasi ini tentu berdampak langsung pada kinerja produksi pangan nasional.  

3. Program Pemerintah Belum Efektif

Hasil survei juga menyoroti bahwa 53 persen petani merasa program-program pemerintah belum mampu meningkatkan hasil panen mereka. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya perhatian terhadap ketersediaan pupuk organik dan benih unggul, dua faktor penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian.

Scroll Untuk Melanjutkan

Sebanyak 51,6 persen petani mengaku tidak pernah menerima pupuk organik dari pemerintah, sementara hampir separuh responden juga mengatakan tidak mendapatkan bantuan benih unggul sama sekali.  

Hermanu menambahkan bahwa mayoritas petani, sekitar 76 persen, masih menggunakan benih buatan sendiri yang kualitasnya belum tentu terjamin. Hal ini meningkatkan risiko penurunan produktivitas dan bahkan gagal panen. Selain itu, minimnya penyuluhan dari pemerintah selama sepuluh tahun terakhir turut memperburuk situasi, sebagaimana dikeluhkan oleh 45,1 persen responden.  

4. Petani Tidak Dilibatkan Proses Perumusan Kebijakan

Banyak petani merasa tidak dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Sekitar 46,4 persen mengaku tidak pernah diajak berdialog oleh perangkat desa, pemerintah daerah, atau dinas terkait. Kondisi ini juga terlihat dalam penentuan harga gabah. Sebanyak 45,4 persen petani menyatakan bahwa harga gabah yang ditetapkan pemerintah tidak menguntungkan. Partisipasi petani dalam menentukan kebijakan harga juga masih minim, dengan hanya 36,2 persen yang merasa dilibatkan.  

Hermanu menilai bahwa salah satu akar masalahnya terletak pada kegagalan pemerintah dalam menerjemahkan konsep kedaulatan pangan ke dalam kebijakan yang tepat. Berbagai program yang dijalankan selama ini dinilai tidak menjawab kebutuhan riil petani atau bahkan melenceng dari tujuan awal.  

5. Penurunan Produksi Padi

Situasi semakin diperburuk oleh penurunan produksi padi nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas panen padi pada 2023 tercatat sebesar 10,21 juta hektare, turun 238.970 hektare atau 2,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Produksi beras untuk konsumsi pangan penduduk juga mengalami penurunan sebesar 1,39 persen, dari 31,54 juta ton pada 2022 menjadi 31,10 juta ton pada 2023.  

Penurunan produksi ini menjadi sinyal kuat bahwa sektor pertanian sedang berada dalam tekanan serius. Di tengah kondisi yang semakin sulit, para petani mendesak pemerintah untuk memperbaiki kebijakan dan meningkatkan partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Hermanu menegaskan bahwa jika pemerintah tidak segera berbenah, cita-cita mewujudkan kedaulatan pangan akan semakin sulit dicapai.  

ANTARA
Pilihan editor: Prabowo Akan Terbitkan Perpres untuk Putihkan Utang Petani dan Nelayan