by admin admin No Comments

Kawasan Industri Nikel RI Ini Sudah ‘Tanam Uang’ Hingga Rp552 Triliun

Jakarta, CNBC Indonesia – PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) terhitung pada tahun 2015 lalu hingga tahun 2024 sudah menggelontorkan investasi jumbo mencapai US$ 34,3 miliar setara Rp 552,2 triliun (asumsi kurs Rp 16.100).

Direktur Komunikasi IMIP, Emilia Bassar mengatakan bahwa total investasi yang telah digelontorkan oleh pengelola kawasan industri di Morowali, Sulawesi Tengah tersebut terhitung hingga Agustus 2024 ini.

“Ini datanya, untuk akumulasi investasinya dari 2015 sampai 2024 itu senilai US$ 34,3 miliar. Kemudian dengan konversi sekarang ya, jadi teman-teman bisa hitung dengan konversi sekarang ini 16.100 untuk US$ 1-nya,” ujarnya dalam acara Press Briefing PT IMIP, di kantornya, Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Adapun, berdasarkan paparannya, investasi yang digodok oleh pihaknya tahun terus meningkat dari tahun 2022. Dari tahun 2022 hingga 2023 investasi perusahaan meningkat sebesar US$ 0,54 miliar setara 8,69 triliun.

Sedangkan, investasi dari tahun 2023 ke tahun 2024 ini meningkat sebesar US$ 4,16 miliar setara Rp 6,69 triliun.

Tidak hanya itu, Emilia menyebutkan pihaknya sudah menyetorkan kewajiban untuk negara berupa pajak hingga US$ 1,16 miliar setara Rp 18,56 triliun (asumsi kurs Rp 16.000 per US$). Dia mengatakan jumlah setoran pajak tersebut terhitung untuk tahun 2023 lalu.

“(Pajak) yang sudah kita bayar ke negara di 2023 US$ 1,16 miliar, jadi sekitar Rp 16 T atau mungkin sampai menuju ke Rp 17 T ya. Bisa ga 17T? Mungkin ya, dikali Rp 16.000 sekarang ini ya kursnya,” ujarnya.

Adapun, dalam paparannya, Emilia menyebutkan pada tahun 2022 lalu pihaknya juga sudah menyetorkan pajak pada negara mencapai US$ 1,32 miliar setara Rp 21,12 triliun.

Sedangkan, untuk tahun 2021, pihaknya menyetorkan pajak pada negara sebesar US$ 655 juta setara Rp 10,48 triliun.

Selain itu, Emilia menyebutkan saat ini pihaknya telah menghitung devisa hasil ekspor yang dihasilkan oleh pihaknya hingga November 2024 ini sebesar US$ 14,45 miliar setara Rp 232,6 triliun (asumsi kurs Rp 16.100 per US$).

“Lalu untuk devisa ekspor, itu juga hingga November 2024 nilainya sudah mencapai US$ 14,45 miliar,” bebernya.

Adapun, dalam paparannya, devisa hasil ekspor perusahaan terhitung lebih tinggi yakni pada tahun 2023 sebesar US$ 15,49 setara Rp 249,3 triliun. Sedangkan, untuk tahun 2022 devisa hasil ekspor perusahaan terhitung mencapai US$ 15,03 miliar setara Rp 241,9 triliun.

(haa/haa)


Next Article Kawasan Industri IMIP Jadi Magnet Cuan Masyarakat Bahodopi

by admin admin No Comments

Golongan pelanggan PLN yang akan dapat diskon 50 persen tarif listrik

Jakarta (ANTARA) – Pemerintah akan memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen kepada pelanggan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) selama dua bulan pertama 2025.

Kebijakan diskon tarif listrik 50 persen ini dilakukan sebagai upaya melindungi daya beli masyarakat imbas kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025.

Diskon tarif listrik 50 persen diberikan hanya bagi pelanggan rumah tangga PLN dengan daya listrik hingga 2.200 Volt Ampere (VA) yang berlaku pada Januari–Februari 2025.

“Kami juga memberikan (insentif) untuk rumah tangga (berupa) diskon listrik 50 persen selama dua bulan, yakni Januari–Februari, untuk yang berlangganan daya 2.200 watt ke bawah,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam Konferensi Pers Paket Kebijakan Ekonomi: Akselerasi Pertumbuhan Ekonomi Inklusif & Berkelanjutan, yang digelar di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (16/12).

Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) (Persero) Darmawan Prasodjo mengatakan diskon ini berlaku baik bagi pelanggan listrik prabayar maupun pascabayar.

“Itu otomatis, jadi pelanggan PLN tidak perlu melakukan apa pun. Kami melalui proses otomatis yang berbasis pada sistem digital,” ujar Darmawan.

Pembayaran tarif listrik akan secara otomatis mendapatkan potongan harga sebesar 50 persen untuk pelanggan prabayar yang menggunakan token listrik dan tagihan akan secara otomatis dipotong 50 persen untuk pelanggan pascabayar untuk periode bulan Januari dan Februari 2025.

Pemberian insentif berupa diskon tarif listrik 50 persen tersebut berdampak pada 81,4 juta rumah atau 97 persen dari jumlah keseluruhan pelanggan PLN. Adapun diskon tarif listrik 50 persen ini menyasar pada puluhan juta pelanggan PLN, diantaranya:

  • 24,6 juta pelanggan PLN dengan golongan listrik daya 450 Volt Amphere (VA)
  • 38 juta pelanggan PLN dengan golongan listrik daya 900 Volt Amphere (VA)
  • 14,1 juta pelanggan PLN dengan golongan listrik daya 1.300 Volt Amphere (VA)
  • 4,6 juta pelanggan PLN dengan golongan listrik daya 2.200 Volt Amphere (VA).

Para pelanggan PLN 3.500–6.600 VA akan tetap dikenakan PPN 12 persen. PLN juga mengapresiasi PPN 12 persen yang dikenakan kepada 400 ribu pelanggan PLN yang memiliki daya di atas 6.600 VA atau pelanggan rumah tangga PLN terkaya dari desil yang ada dalam struktur pelanggan PLN.

Baca juga: Mobil Listrik di Tiongkok Kini Didukung Solusi Otomotif Pintar Huawei

Baca juga: Secara bertahap, Transjakarta operasikan 200 bus listrik

Baca juga: Ekonom: Pastikan pemberian diskon tarif listrik tepat sasaran

Pewarta: Sri Dewi Larasati
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024

by admin admin No Comments

Mengenal Bank Indonesia: sejarah hingga fungsi dan kedudukannya

Jakarta (ANTARA) – Bank Indonesia merupakan bank sentral Republik Indonesia sebagai penjaga gawang stabilitas keuangan dan perekonomian nasional.

Bank Indonesia dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, mempunyai tujuan untuk mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.​

Sejarah Bank Indonesia

Melansir laman Bank Indonesia, cikal bakal Bank Indonesia bermula dari kedatangan bangsa Eropa ke Tanah Air dengan misi mencari rempah-rempah. Pada 1828, Belanda mendirikan De Javasche Bank (DJB) untuk bertindak sebagai bank sirkulasi. DJB memiliki kewenangan untuk mencetak dan mengedarkan uang Gulden di wilayah Hindia Belanda.

Pada 1942, setelah Jepang menduduki Indonesia, DJB dilikuidasi. Tugas DJB sebagai bank sirkulasi di Indonesia kemudian digantikan oleh Nanpo Kaihatsu Ginko (NKG).​

Pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 1945, terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia. Belanda berusaha menguasai kembali Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA) mendirikan kembali DJB untuk mencetak dan mengedarkan uang NICA bertujuan untuk mengacaukan ekonomi Indonesia.

Baca juga: BI: ULN Indonesia Oktober 2024 menurun

Akan tetapi sesuai mandat yang tertulis dalam penjelasan UUD 45 Pasal 23, pemerintah RI membentuk Bank Negara Indonesia (BNI) sebagai bank sirkulasi. BNI menerbitkan uang dengan nama Oeang Republik Indonesia (ORI) sebagai upaya menegakkan kedaulatan ekonomi.

Keberadaan BNI milik RI dan DJB milik NICA membuat terjadinya dualisme bank sirkulasi di Indonesia dan munculnya peperangan mata uang (currency war). Pada masa ini, uang DJB yang dikenal dengan sebutan ‘uang merah’ dan ORI dikenal sebagai ‘uang putih’.​

Setelah Konferensi Meja Bundar dilaksanakan pada 1949, Belanda bersedia mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat (RIS). Selain itu, KMB juga menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi Republik Indonesia Serikat.

Pada 1951, muncul desakan kuat untuk mendirikan bank sentral sebagai wujud kedaulatan ekonomi Republik Indonesia. Oleh sebab itu, pemerintah memutuskan untuk membentuk Panitia Nasionalisasi DJB. Proses nasionalisasi dilakukan melalui pembelian saham DJB oleh Pemerintah RI, dengan besaran mencapai 97 persen.​

Kemudian, pemerintah RI pada tanggal 1 Juli 1953 menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1953 tentang Pokok Bank Indonesia, yang menggantikan DJB Wet Tahun 1922.

Baca juga: BI sebut surplus neraca perdagangan positif topang ketahanan eksternal

Sejak 1 Juli 1953 Bank Indonesia secara resmi berdiri sebagai Bank Sentral Republik Indonesia. Tugas BI tidak hanya sebagai bank sirkulasi, melainkan sebagai bank komersial melalui pemberian kredit.

Pada 1997 terjadi krisis moneter di Asia menjadi titik balik dalam perjalanan BI, dengan mengambil langkah-langkah kebijakan penanggulangan krisis, seperti penerapan kebijakan floating exchange rate untuk nilai tukar, penutupan bank-bank bermasalah, dan restrukturisasi bank-bank yang tidak sehat.​

Krisis tersebut memberi pelajaran penting tentang independensi BI sebagai bank sentral. Hingga pada 1999, lahirlah UU Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

Bank Indonesia ditetapkan sebagai Bank Sentral yang bersifat independen. UU ini menetapkan tujuan tunggal BI yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah, dan menghapuskan tujuan sebagai agen pembangunan.

Bank Indonesia diberi kewenangan penuh untuk tidak hanya mencetak dan mengedarkan uang tetapi memelihara kestabilan nilai rupiah dan menetapkan kebijakan moneternya. BI juga diberi mandat untuk mengatur dan mengawasi industri perbankan Indonesia.

Pada 2011, DPR mengesahkan UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK kemudian mengambil alih tugas BI sebagai pengaturan dan pengawasan industri perbankan Indonesia.

Baca juga: KPK sidik penerima dana CSR Bank Indonesia

Tugas dan Tujuan Bank Indonesia

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah.

Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain.

Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merup​akan tiga bidang tugasnya, agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien. Berikut tugas dan fungsi Bank Indonesia yang telah dituangkan dalam bentuk gambar berisi tiga pilar:

  • Mencapai dan memelihara kestabilan nilai Rupiah
  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter
  • Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
  • Menjaga stabilitas sistem keuangan

Bank Indonesia memiliki wewenang, diantaranya:

  • Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter dengan memperhatikan sasaran laju inflasi
  • Mengawasi dan mengatur sistem pembayaran untuk memastikan kelancaran transaksi keuangan
  • Mengatur dan mengawasi kebijakan makroprudensial
  • Mengakses informasi mengenai stabilitas keuangan
  • Sebagai lender of the lasr resort (LOLR)​​
  • Membuat aturan, standar, dan prosedur dalam peredaran uang, mulai dari tahapan perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, sampai dengan pemusnahan.

Status dan kedudukan Bank Indonesia

Lembaga negara yang Independen​

Bank Indonesia sebagai bank sentral yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang ​Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.

Baca juga: KPK geledah ruang gubernur Bank Indonesia

Undang-undang ini memberikan status dan kedudukan sebagai suatu lembaga negara yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, bebas dari campur tangan Pemerint​​ah dan/atau pihak lain, kecuali untuk hal-hal yang secara tegas diatur dalam undang-undang ini.

Pihak luar tidak dibenarkan mencampuri pelaksanaan tugas Bank Indonesia, dan Bank Indonesia juga berkewajiban untuk menolak atau mengabaikan intervensi dalam bentuk apapun dari pihak manapun juga.

Sebagai badan hukum

Status Bank Indonesia sebagai badan hukum publik dan badan hukum perdata ditetapkan dengan undang-undang. Sebagai badan hukum publik, Bank Indonesia berwenang menetapkan peraturan-peraturan hukum yang merupakan pelaksanaan dari undang-undang yang mengikat seluruh masyarakat luas sesuai dengan tugas dan wewenangnya.

Sementara, sebagai badan hukum perdata, Bank Indonesia dapat bertindak untuk dan atas nama sendiri di dalam maupun di luar pengadilan.​​

Dalam melaksanakan fungsinya, Bank Indonesia dipimpin oleh Dewan Gubernur terdiri atas seorang Gubernur sebagai pemimpin, dibantu oleh seorang Deputi Gubernur Senior sebagai wakil, dan empat hingga tujuh Deputi Gubernur. Gubernur dan Deputi Gubernur Senior diusulkan dan diangkat oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Baca juga: KPK sita sejumlah dokumen dalam penggeledahan di Bank Indonesia

Baca juga: KPK tetapkan 2 tersangka korupsi dana “CSR” BI

Pewarta: Sri Dewi Larasati
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024

by admin admin No Comments

Opsen pajak kendaraan bermotor, penjelasan dan cara menghitungnya

Jakarta (ANTARA) – Pemerintah akan mulai menerapkan opsen pajak kendaraan bermotor kepada masyarakat pada Januari 2025. Kebijakan ini diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).

Menurut ketentuan dalam undang-undang tersebut, penerapan opsen pajak kendaraan bermotor akan dilakukan tiga tahun setelah disahkannya UU HKPD pada 5 Januari 2022. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan dapat diberlakukan pada awal tahun 2025.

Apa itu opsen pajak kendaraan bermotor?

Opsen pajak kendaraan bermotor merupakan salah satu kebijakan perpajakan daerah yang diatur dalam UU HKPD. Kebijakan ini bertujuan untuk memperluas sinergi dalam pemungutan pajak dan mempercepat penyaluran pajak yang sebelumnya dibagihasilkan. Dalam jangka panjang, penerapan opsen diharapkan dapat meningkatkan penerimaan pajak daerah.

Baca juga: Perbedaan BBNKB, PKB, dan Pajak 5 tahunan (TNKB)

Opsen merupakan pungutan tambahan pajak yang dikenakan berdasarkan persentase tertentu. Terdapat tiga jenis pajak daerah yang dikenai opsen, yaitu Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), dan Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB).

Secara umum, penerapan opsen tidak akan menambah beban administrasi perpajakan bagi wajib pajak. Setiap jenis opsen memiliki peraturan yang diatur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku di masing-masing daerah. Berikut adalah penjelasan rinci mengenai tiga jenis pajak daerah yang dikenakan opsen.

1. Pajak Kendaraan Bermotor (PKB)

Opsen PKB dikenakan kabupaten/kota atas pokok PKB sesuai peraturan yang berlaku, dengan pendapatan yang digunakan untuk mendukung kemandirian daerah tanpa membebani wajib pajak.

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

BBNKB dikenakan saat peralihan kepemilikan kendaraan bermotor. Kabupatan/kota mengenakan opsen atas pokok BBNKB untuk mendukung kemandirian daerah tanpa membebani wajib pajak, dengan pendapatan tercatat sebagai PAD.

Baca juga: Apa itu BBNKB dan bagaimana cara menghitungnya? 

3. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan (MBLB)

MBLB dikenakan atas pengambilan mineral bukan logam dan batuan. Provinsi mengenakan opsen atas pokok pajak MBLB untuk memperkuat pengawasan dan penerbitan izin kegiatan pertambangan daerah.

Dalam Pasal 83 ayat (1) UU HKPD, diatur bahwa tarif opsen PKB dan BBNKB sebesar 66 persen dari pajak terutang, sementara opsen Pajak MBLB dikenakan sebesar 25 persen. Ketentuan ini akan mempengaruhi cara pembayaran pajak kendaraan bermotor.

Dengan diberlakukannya aturan baru ini, pemilik kendaraan akan diwajibkan membayar tujuh komponen pajak kendaraan. Komponen tersebut meliputi opsen BBNKB, opsen PKB, Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan (SWDKLLJ), serta biaya administrasi STNK dan TNKB.

Pemilik kendaraan nantinya harus membayar opsen PKB dan opsen BBNKB bersamaan dengan pajak kendaraan bermotor di Samsat setempat. Pembayaran PKB dan BBNKB akan disetorkan ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) provinsi, sementara opsen PKB dan BBNKB akan disetorkan ke RKUD kabupaten/kota sesuai dengan tempat kendaraan terdaftar.

Untuk memudahkan pembayaran, dua kolom keterangan mengenai pembayaran opsen PKB dan BBNKB akan ditambahkan pada lembar belakang STNK atau Surat Ketetapan Kewajiban Pembayaran. Dengan adanya tambahan ini, diharapkan proses pembayaran pajak kendaraan lebih transparan dan efisien.

Baca juga: Syarat dan langkah mendapatkan BBNKB gratis

Cara menghitung opsen pajak kendaraan bermotor

Sebagai contoh, tarif dasar pengenaan pajak untuk sebuah mobil dengan Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKP) sebesar Rp200 juta. Kendaraan tersebut merupakan kendaraan pertama bagi wajib pajak, dan tarif PKB untuk kepemilikan pertama sesuai Perda PDRB provinsi yang bersangkutan adalah 1,1 persen.

Dengan demikian, PKB yang terutang adalah 1,1 persen x Rp200 juta = Rp2,2 juta, yang masuk ke Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) provinsi terkait. Opsen PKB-nya dihitung sebesar 66 persen x Rp2,2 juta = Rp1,450 juta, yang akan masuk ke RKUD Pemda kabupaten atau kota sesuai dengan alamat atau Nomor Induk Kependudukan (NIK) wajib pajak.

Jika dijumlahkan, total administrasi perpajakan yang harus dibayar wajib pajak adalah Rp2,2 juta + Rp1,450 juta = Rp3,650 juta. Jumlah ini setara dengan tarif 1,8 persen berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 yang berlaku sebelumnya.

Pembayaran sebesar Rp3,650 juta nantinya dilakukan sekaligus di SAMSAT, dan bank tempat pembayaran akan membagi dana tersebut ke RKUD Provinsi dan Kabupaten/Kota. Secara keseluruhan, hal ini tidak menambah beban administrasi perpajakan bagi wajib pajak.

Dengan memahami opsen pajak kendaraan bermotor beserta cara perhitungannya sangat penting bagi wajib pajak untuk mengetahui kewajiban yang harus dipenuhi dan memastikan pembayaran pajak dilakukan dengan benar. Dengan demikian, opsen menjadi instrumen vital dalam pengelolaan keuangan daerah dan penguatan otonomi fiskal.

Baca juga: Pemprov Jateng tagih Pajak Kendaraan Bermotor lewat “Sengkuyung”

Baca juga: Pajak kendaraan bermotor NTT turun jadi 1,2 persen di Januari 2025

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2024

by admin admin No Comments

Apa itu Pajak Penghasilan (PPh)? Berikut penjelasannya

Jakarta (ANTARA) – Pajak Penghasilan (PPh) merupakan salah satu sumber pendapatan utama bagi negara, yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh individu maupun badan usaha.

Pajak ini memiliki peran penting dalam mendukung pembangunan dan keberlanjutan fiskal negara.

Di Indonesia, ketentuan mengenai PPh diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Undang-undang ini telah mengalami beberapa perubahan untuk menyesuaikan dengan dinamika ekonomi dan kebutuhan pembangunan nasional.

PPh menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu atau badan yang menerima penghasilan di Indonesia.

Pajak ini dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh wajib pajak dalam periode satu tahun pajak. Untuk memahami lebih lanjut, berikut ini pengertian mengenai pajak penghasilan.

Pengertian Pajak Penghasilan (PPh)

Pajak Penghasilan (PPh) merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak, baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri. Dasar hukum untuk PPh diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang telah mengalami empat kali perubahan, yakni:

1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan

2. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan Kedua UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan

3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan

4. Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat UU No.7/1983 tentang Pajak Penghasilan.

Dapat diketahui, pajak ini dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu PPh yang dikenakan pada wajib pajak orang pribadi, yang terbagi lagi menjadi pegawai, bukan pegawai, dan pengusaha.

Selain itu, PPh juga dibebankan atas penghasilan yang diterima oleh wajib pajak badan atau perusahaan, dengan objek pajak yang dikenakan berbeda-beda.

Objek PPh

Objek PPh meliputi berbagai jenis penghasilan, antara lain:

1 Gaji dan upah: Imbalan atas pekerjaan yang dilakukan.

2. Honorarium: Pembayaran atas jasa atau pekerjaan tertentu.

3. Laba usaha: Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha.

4. Bunga dan dividen: Pendapatan dari simpanan atau investasi.

5. Keuntungan penjualan aset: Laba dari penjualan atau pengalihan harta.

Siapa yang wajib membayar PPh?

Setiap wajib pajak yang menerima penghasilan melebihi batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) diwajibkan untuk membayar pajak penghasilan. Wajib pajak yang dikenakan PPh meliputi:

1. Individu yang menerima penghasilan, baik dari pekerjaan maupun usaha.

2. Badan usaha, seperti perusahaan, lembaga, dan organisasi.

3. Subjek pajak luar negeri yang memperoleh penghasilan dari Indonesia.

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Sebagai informasi, PTKP merupakan jumlah penghasilan yang tidak dikenakan pajak, yang berarti jika penghasilan Anda tidak melebihi batas PTKP, Anda tidak diwajibkan membayar pajak penghasilan.

Oleh karena itu, PTKP berfungsi sebagai batas penghasilan minimum yang dapat diterima oleh wajib pajak tanpa harus membayar pajak. Adapun rincian PTKP untuk tahun ini adalah sebagai berikut:

1. Rp 54.000.000 per tahun untuk wajib pajak orang pribadi, yang berarti jika penghasilan Anda setahun kurang dari jumlah ini, Anda tidak perlu membayar pajak penghasilan.

2. Selain itu, terdapat tambahan PTKP sebesar Rp 4.500.000 per tahun untuk setiap tanggungan keluarga, dengan batas maksimal tiga orang tanggungan. Misalnya, jika Anda memiliki tiga tanggungan, total PTKP yang bisa Anda terima adalah Rp 54.000.000 ditambah Rp 13.500.000 (Rp 4.500.000 x 3).

PPh menjadi kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap individu yang memperoleh penghasilan melebihi PTKP. Untuk menghitung pajak penghasilan, Anda perlu memahami beberapa langkah penting, mulai dari menghitung penghasilan bruto hingga penerapan tarif progresif yang berlaku.

Dengan mematuhi kewajiban perpajakan, Anda tidak hanya berkontribusi pada pembangunan negara, tetapi juga dapat menghindari potensi sanksi yang dapat merugikan di masa depan. Kepatuhan terhadap aturan pajak akan mendukung kelancaran administrasi keuangan negara dan mencegah masalah hukum yang tidak diinginkan.

Dengan demikian, PPh memiliki peran krusial dalam perekonomian Indonesia sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang PPh sangat diperlukan agar wajib pajak dapat memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar dan sesuai peraturan yang berlaku.

Baca juga: Anggota DPR usul barang mewah lokal tak kena PPN 12 persen

Baca juga: INDEF minta Prabowo-Gibran beri dukungan UMKM produksi bernilai tambah

Baca juga: Kemenkeu: Kontribusi pajak penghasilan orang pribadi capai 15,7 persen

Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2024