
Jakarta, CNBC Indonesia – Presiden Amerika Serikat Donald Trump dijadwalkan mengumumkan serangkaian tarif besar-besaran yang disebut sebagai “Liberation Day” atau “Hari Pembebasan” pada Rabu (2/4/2025). Namun, hingga saat-saat terakhir, dunia masih menunggu kepastian tentang cakupan kebijakan tersebut yang berpotensi memicu perang dagang global.
Trump akan mengumumkan langkah-langkah baru tersebut dalam sebuah acara di Rose Garden Gedung Putih pada pukul 16.00 waktu setempat. Dikelilingi oleh anggota kabinetnya, Trump berjanji bahwa kebijakan ini akan menghentikan eksploitasi terhadap Amerika Serikat serta membawa “zaman keemasan baru” bagi industri dalam negeri.
Namun, meskipun Trump menegaskan bahwa ia telah menentukan tarif timbal balik terhadap negara-negara yang dianggap merugikan AS, Gedung Putih mengakui bahwa hingga Selasa malam, rincian akhir masih dalam tahap penyelesaian.
Trump selama ini dikenal sebagai pendukung tarif perdagangan dan meyakini bahwa langkah ini dapat mengatasi defisit perdagangan AS dengan berbagai negara, baik sekutu maupun rival.
Namun, para ekonom dan pengkritiknya memperingatkan bahwa beban tarif ini pada akhirnya akan ditanggung oleh konsumen AS, berpotensi meningkatkan inflasi serta memicu resesi yang merugikan ekonomi domestik dan global.
Pasar global telah bergejolak selama beberapa hari menjelang pengumuman Trump, sementara negara-negara yang diperkirakan menjadi sasaran utama kebijakan ini telah bersiap dengan langkah-langkah balasan serta menyerukan negosiasi.
Ketidakpastian dan Spekulasi
Seperti kebiasaannya, Trump tetap menjaga ketidakpastian mengenai kebijakan tarif ini hingga menit-menit terakhir. Ia telah mengisyaratkan kebijakan ini selama berminggu-minggu, awalnya menyebut bahwa tarif hanya akan “menyamai” besaran bea yang dikenakan negara lain terhadap AS.
Pada Senin lalu, Trump hanya mengatakan bahwa ia akan bersikap “sangat baik”, tanpa memberikan rincian lebih lanjut. Berbagai laporan media AS menyebut bahwa Trump mempertimbangkan tarif global sebesar 20 persen, namun juga ada opsi ketiga di mana beberapa negara mendapat perlakuan khusus.
Sekretaris Pers Gedung Putih, Karoline Leavitt, mengungkapkan bahwa Trump masih berdiskusi dengan penasihat seniornya menjelang pengumuman untuk memastikan kebijakan yang diumumkan adalah “kesepakatan sempurna”.
Ia juga menegaskan bahwa tarif ini akan berlaku “segera” setelah diumumkan, menutup kemungkinan adanya negosiasi lanjutan dengan negara-negara terdampak.
Sebelumnya, Trump beberapa kali menunda atau membatalkan tarif yang direncanakan terhadap beberapa sekutu, termasuk Kanada dan Meksiko. Namun, kali ini, ancaman perang dagang global semakin nyata, dengan berbagai negara menyatakan kesiapan mereka untuk merespons kebijakan ini.
Sejumlah ekonomi besar, termasuk Uni Eropa dan Kanada, telah menyatakan bahwa mereka akan melakukan tindakan balasan jika tarif baru ini benar-benar diberlakukan.
“Kami akan bertindak dengan hati-hati dalam merespons, tetapi kami akan berjuang untuk kepentingan Kanada,” kata Perdana Menteri Kanada, Mark Carney, dilansir AFP.
Uni Eropa, yang sebelumnya dituduh Trump berusaha “menipu” Amerika Serikat, masih berharap bisa mencapai kesepakatan diplomatik. Namun, mereka juga telah menegaskan bahwa “semua opsi ada di meja” jika perlu melakukan tindakan balasan.
Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, dilaporkan telah berbicara dengan Trump mengenai “negosiasi yang produktif” dalam perjanjian dagang AS-Inggris.
Sementara itu, Vietnam dikabarkan telah mengambil langkah preventif dengan menurunkan tarif terhadap sejumlah barang untuk menghindari sanksi dagang dari Washington.
Dampak Tarif Sebelumnya
Trump telah menggunakan tarif sebagai senjata kebijakan luar negeri sejak masa jabatan pertamanya yang penuh gejolak dari 2017-2021. Ia berargumen bahwa kebijakan ini akan menghidupkan kembali sektor manufaktur AS yang mengalami penurunan.
Pekan lalu, Trump mengumumkan tarif otomotif sebesar 25 persen, dengan menyatakan bahwa ia “tidak peduli” jika harga mobil impor melonjak. Tarif sebesar 25 persen terhadap baja dan aluminium juga telah diterapkan sejak pertengahan Maret.
Selain itu, China terkena tarif tambahan sebesar 20 persen atas semua barang impornya pada Maret lalu, yang memicu langkah balasan dari Beijing. Uni Eropa juga telah menyusun kebijakan tarif balasan yang dijadwalkan mulai berlaku pertengahan April.