by admin admin No Comments

Lebih dari 1.000 Kantor Cabang Bank Berbagai Daerah Tutup, Efek Digitalisasi?

Suara.com – Kantor bank konvensional perlahan mulai ditinggalkan. Hal ini ditunjukkan data Otoritas Jasa Keuangan yang menyebut, 1.064 kantor cabang bank ditutup pada tahun 2023 lalu.

Data yang diambil dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI) itu dirilis pada awal tahun 2024. Hingga November 2023 lalu, kantor cabang bank di daerah mencapai 24.280, jauh menurun dibandingkan dengan 25.344 cabang pada November 2022.

Kantor cabang BUMN disebut yang paling banyak menyusut pada tahun lalu, totalnya kini hanya ada 12.421 kantor cabang, mengalami penurunan sebanyak 593 kantor dalam satu tahun. 

Pada kelompok bank swasta, jumlah kantor cabang mengalami penurunan sebanyak 463, dan kantor cabang bank pembangunan daerah (BPD) hanya mengalami penurunan sebanyak 5.

Sementara untuk Kantor Cabang Bank Asing (KCBA) berkurang 4 kantor, menyisakan 19 kantor. Penurunan jumlah kantor bank di Indonesia ini sejalan dengan perkembangan pesat digitalisasi perbankan.

Belakangan, pergeseran gaya hidup dan tren bank digital juga cukup mempengaruhi perubahan ini. Meskipun, sejatinya kantor cabang bank di daerah masih sangat dibutuhkan, khususnya di daerah pedesaan dan terpencil dengan akses internet terbatas.

Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa nilai transaksi digital banking mencapai Rp58.478,24 triliun, dengan pertumbuhan sebesar 13,48% secara tahunan (year on year/yoy).

BI juga menyebut, transaksi pembayaran menggunakan kartu ATM, kartu debit, dan kartu kredit mengalami penurunan sebesar 0,81% pada tahun 2023, mencapai total Rp8.178,69 triliun.

Penyusutan jumlah kantor bank memang menjadi kenyataan bagi beberapa lembaga keuangan. Contohnya, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) mencatatkan penurunan sebanyak 360 kantor selama periode tahun 2023 hingga September 2023.

by admin admin No Comments

Jokowi Dinilai Serampangan Soal Keputusan Impor 3 Juta Ton Beras, Petani Sakit Hati

Suara.com – Kritikan tajam datang dari Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santosa atas keputusan pemerintah Jokowi yang bakal melakukan impor beras 3 juta ton untuk memenuhi kebutuhan stok dalam negeri pada 2024.

Dwi menilai keputusan ini serampangan tanpa membaca data.

Diskusi Core Indonesia
Diskusi Core Indonesia

“Ini kami sampaikan sebagai kepututsan impor yang serampangan, tanpa dasar, tanpa data, tanpa perhitungan,” kata Dwi dalam sebuah diskusi bertajuk ‘Outlook Ekonomi Sektor-sektor Strategis 2024’ yang diselenggarakan oleh CORE Indonesia di Tebet, Jakarta Selatan pada Selasa (23/1/2024).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan pemerintah akan mengimpor kembali 3 juta ton beras pada 2024 untuk mengatasi defisit beras dampak dari El Nino.

“Beras itu tahun kemarin kita impor sekitar 3,5 juta. 3 juta sudah masuk, 500 ribu diharapkan masuk di bulan Januari ini,” kata Airlangga saat ditemui dalam acara penyerahan bantuan pangan beras di Garut, Sabtu (20/1/2024) dikutip dari Antara.

Dia menambahkan, “Pemerintah sudah memutuskan untuk impor juga di tahun ini 3 juta ton, di mana 2 juta sedang berproses di Bulog,” katanya.

Padahal kata Dwi dampak dari El Nino tidak terlalu berdampak besar bagi produksi beras nasional. Nyatanya, kata dia, penurunan produksinya hanya 0,65 persen

Alhasil keputusan ini membuat sakit hati para petani. Padahal kata dia tahun ini ada potensi kenaikan produksi padi antara 3 hingga 5 persen. Produksi beras juga diperkirakan naik 0,9 hingga 1,5 juta ton.

“Jadi, permintaan untuk sebagia besar produk pertanian itu sifatnya inelastis. Jadi, kalau stok besar, pasti akan menjatuhkan harga yang lebih besar daripada kenaikan stok tersebut,” pungkasnya.

by admin admin No Comments

Kini Lawan, Tom Lembong Bongkar Kesalahan Besar Jokowi!

Jakarta, CNBC Indonesia – Thomas Trikasih Lembong adalah satu satu sosok andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam mendorong perekonomian. Tom Lembong pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM).

Dia menceritakan, ada kesalahan besar yang dilakukan Jokowi pada periode kedua pemerintahan. Tadinya, periode pertama fokus pemerintah adalah pembangunan infrastruktur dan kedua bergeser ke sumber daya manusia.


“Rencana awal sebenarnya fokus ke infrastruktur, periode kedua kita geser ke yang namanya software atau perangkat lunak, yaitu SDM, kesehatan, pendidikan, dan kelembagaan,” kata dia dalam program Your Money Your Vote bertajuk “Jurus Ekonomi Capres-Cawapres di Tengah Perang dan Ketidakpastian Global”, dikutip Senin (22/1/2024).

Menurut Thomas, rencana awal pemerintahan Jokowi itu kemudian meleset. Fokus pembangunan infrastruktur di periode pertama, kata dia, malah dilanjutkan di periode kedua pemerintahan Jokowi. “Yang terjadi malah fokus periode pertama diteruskan. Kesehatan, pendidikan terbengkalai,” kata dia.

Thomas mengatakan kesalahan inilah yang akan diperbaiki oleh pasangan Anies-Muhaimin lewat ‘slepetnomics’. Dia mengatakan lewat jargon itu, Anies-Muhaimin ingin menggeser fokus pembangunan Indonesia dari infrastruktur ke pembangunan yang bersifat perangkat lunak, yakni sumber daya manusia.

Dia mengatakan SDM merupakan masalah utama Indonesia yang membuat ekonomi sulit berkembang. Menurut Tom, solusi untuk masalah ini bukanlah investasi di infrastruktur maupun industri berbasis sumber daya alam, melainkan investasi kepada SDM berupa pendidikan dan kesehatan.

Thomas mengatakan sudah banyak contoh ketika negara kaya dengan sumber daya alam, justru miskin secara ekonomi. Sebaliknya, negara yang miskin alamnya, justru menjadi negara maju karena kualitas manusianya.

“Pak Anies sudah berkali-kali mengatakan bahwa kekuatan kita bukanlah sumber daya alam, kekuatan atau aset kita adalah manusia, warga kita. Kalau kita lihat fakta di seluruh dunia kebanyakan negara yang kaya dengan sumber daya alam itu biasanya miskin dan banyak negara yang tidak punya sumber daya alam itu malah kaya seperti Jepang, Singapura dan Taiwan,” kata dia.

Kritik Kebijakan Nikel

Pemerintahan Presiden Jokowi menurutnya saat ini masih terfokuskan pada hilirisasi sumber daya alam (SDA). Di mana ada penciptaan industri manufaktur yang padat modal, namun berbasis komoditas, seperti produk pertambangan dan pengolahannya yang di antaranya adalah industri smelter nikel. Padahal, harga-harga produksi di sektor itu kini tengah melemah.

“Contoh tahun ini harga nikel sudah turun 50%, dengan melemahnya ekonomi global tahun depan pasti harga-harga komoditas akan turun lagi. Jadi kita mulai dengan realita bahwa kita tidak lagi bisa mengandalkan ekspor dan komoditas,” kata Lembong.

Dampak dari fokus pada industri manufaktur padat modal itu, menurutnya juga akan berpotensi menekan perekonomian masyarakat di tengah besarnya potensi resesi global. Sebab, industri padat modal tidak banyak membutuhkan tenaga kerja karena rantai produksinya sudah didominasi teknologi robotik atau otomasi.

“Kalau kita kunjungi sebuah pabrik mobil listrik itu semua yang kerja robot. Saya pernah kunjungi sebuah pabrik mobil listrik di Korea, dan saya kaget hampir tidak ada manusia, kosong, semua jadi rantai produksinya assembly line semua mesin yang melipat, mengguling, dan merakit baterai itu,” tuturnya.

“Tapi pemerintah belakangan ini sangat fokus pada industri nikel, industri baterai, industri mobil listrik karena dianggap masa depan, dianggap high tech, dianggap sangat seksi,” ucap mantan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) periode pertama pemerintahan Presiden Jokowi itu.

Terlalu fokusnya pemerintah untuk memasukkan industri padat modal itu pun menurut Lembong sangat berlainan dengan sentimen investor global. Menurutnya, akibat konflik geopolitik, termasuk di China akibat perang perdagangan dengan Amerika Serikat, sebetulnya investor yang kini cenderung ingin berinvestasi di Indonesia untuk relokasi industri berasal dari industri manufaktur padat karya, seperti tekstil, barang dari tekstil, furnitur, hingga elektronika.

“Saya kasih contoh satu merek busana yang cukup terkemuka asal AS yang pekerjakan 700 ribu pekerja di Indonesia melalui 11 mitra manufaktur, mereka komplain ke saya, Pak Tom, pemerintah tidak punya perhatian bagi kami sama sekali di industri tekstil, sepatu, karena dianggap kuno, sunset industry, mereka hanya ngomong baterai mobil listrik,” ungkap Lembong.

Oleh sebab itu, dengan realita tersebut, Anies-Muhaimin menurutnya akan mengusung penguatan industri manufaktur padat karya pada masa pemerintahannya. Dengan cara itu, ia memastikan industri sektor jasa juga akan semakin minim dari yang saat ini porsinya mencapai 50-55% terhadap PDB sedangkan industri manufaktur hanya sebesar 18% terhadap PDB karena tenaga kerja di sektor industri jasa yang mayoritas informal bisa terserap menjadi pekerja formal.

“Dan itu malah naik sekarang mencapai 60% dari pekerja kita di sektor informal. Harusnya dengan omnibus law lebih ringan dan gampang bagi perusahaan ambil pekerjaan secara formal kan, tapi faktanya di lapangan sebaliknya,” tegas Lembong.

[Gambas:Video CNBC]


(mij/mij)

by admin admin No Comments

Transisi Energi Tak Selalu Bikin Greenflation, Peneliti CSIS: Yang Bertanya Enggak Ngerti

TEMPO.CO, Jakarta – Peneliti pada Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan mengatakan transisi energi tidak selalu menimbulkan inflasi atau greenflation. Deni melontarkan pernyataan itu untuk mengomentari pertanyaan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka kepada Mahfud MD pada sesi debat cawapres tadi malam, 21 Januari 2024. 

Deni menjelaskan, greenflation atau inflasi hijau terkait dengan apakah transisi energi akan membuat harga-harga naik atau menciptakan inflasi. Ia menyebut ada salah satu paper dari European Bank yang membahas mengenai hal itu.

“Di paper itu dijawab tidak selalu demikian (transisi energi menimbulkan inflasi). Malah sebaliknya yang terjadi,” ujarnya.

Transisi energi justru bisa menimbulkan deflasi atau penurunan harga, mengacu pada paper tersebut. Menurut Deni, transisi energi menimbulkan inflasi atau deflasi sangat tergantung pada ekspektasi rumah tangga dan kebijakan pemerintah. Pemerintah, kata Deni, jika ingin mendorong ke arah transisi yang lebih ramah lingkungan, dapat memberikan subisidi atau keringanan pajak pada harga barang dan jasa yang terlibat dalam transisi energi.

“Jika itu dilakukan, harga-harga akan jadi bisa lebih bersaing dan lebih murah,” ucap Deni. 

Ia mencontohkan, transisi energi dengan adanya mobil hybrid di Indonesia. Menurutnya, mobil hybrid di Indonesia masih mahal.

“Pajaknya double. Jadi mahal. Kalau kebijakannya seperti itu ya pasti inflasi,” kata Deni. 

Sebaliknya, jika pemerintah berkomitmen memberikan subsidi, mengatasi aturan-aturan yang menghambat, dan menunjukkan keberpihakan, maka inflasi hijau atau greenflation bisa dicegah. Selain itu, Deni juga menyayangkan, Gibran hanya melontarkan istilah greenflation, namun tidak mampu memberi penjelasan yang komprehensif.

Scroll Untuk Melanjutkan

“Sayangnya yang bertanya juga sebenarnya enggak ngerti amat soal greenflation karena yang dibahas tentang demo di Perancis,” ujarnya. 

Gibran menanyakan cara mengatasi greenflation kepada Mahfud Md dalam debat Cawapres tadi malam. Mahfud menjawab, inflasi hijau merupakan bagian dari ekonomi hijau. Gibran tidak puas dengan jawaban Mahfud. Dia lantas celingukan mencari jawaban Mahfud.

“Saya lagi nyari jawabannya Prof Mahfud, saya nyari-nyari di mana ini jawabannya? Kok gak ketemu jawabannya,” kata Gibran. 

Pertanyaan Gibran sempat disemprit moderator debat. Moderator mengingatkan Gibran agar tidak mengajukan pertanyaan dalam bentuk singkatan atau istilah teknis. Gibran mengaku sengaja tak menjelaskan pertanyaannya tersebut karena yang dia tanyai adalah seorang profesor, yaitu Mahfud Md. 

YOHANES MAHARSO | ADIL AL HASAN

Pilihan Editor: Gibran Mau Cabut Tambang Ilegal, Pengamat: Benahi Dulu Rahim Kekuasaan