TEMPO.CO, Jakarta – Investor kawakan Lo Kheng Hong menyebutkan pentingnya cara menghitung valuasi secara sederhana. Dengan begitu, ia bisa mengetahui batas harga murah ketika akan membeli saham suatu perusahaan.
ADVERTISEMENT
Lebih jauh, Lo Kheng Hong mencontohkan PBRV dari emiten perbankan yakni PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI).
Data RTI pada hari ini, Kamis, 29 Juli 2021, khususnya di sesi I memperlihatkan saham BBCA tercatat memiliki valuasi PBRV sebesar 3,93 kali dengan PER 25,50 kali. Kemudian, valuasi PBRV BMRI mencapai 1,48 kali dan PER 11,38 kali.
Adapun BBRI terpantau memiliki PBRV senilai 2,41 kali dan PER 16,94 kali. Terakhir, BBNI memiliki valuasi PBRV senilai 0,80 kali dengan PER 9,62 kali.
“Vaksinasi telah memberikan kontribusi yang sangat signifikan untuk (memungkinkan) langkah-langkah ini … tetapi kita tidak dapat mengabaikan fakta bahwa … virus terus beredar …. pandemi belum hilang,” kata Costa dalam sebuah keterangan pers, dikutip dari Reuters.
Dulunya itu Desember 2020 minus 0,7, sekarang kan naik menjadi minus 0,21 dengan tingkat inflasi terkendali
Makassar (ANTARA) – Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) memberikan kontribusi sebesar 14,10 persen terhadap peningkatan ekspor nasional yang mencapai 58 persen.
Nilai ekspor Sulsel itu sebesar 512,15 juta dolar Amerika Serikat (AS), yang jika dikonversi ke nilai rupiah sebesar Rp7,27 triliun.
Kepala Dinas Perdagangan Sulsel Ashari Fakhsirie Radjamilo, di Makassar, Kamis, mengatakan pertumbuhan ekonomi Sulsel triwulan I 2021 mengalami peningkatan walaupun masih terkontraksi.
“Dulunya itu Desember 2020 minus 0,7, sekarang kan naik menjadi minus 0,21 dengan tingkat inflasi terkendali sebesar 1,41 persen,” ujarnya.
Sedangkan neraca perdagangan Sulsel pada periode Januari-Mei, juga mengalami surplus sebesar 240,13 juta dolar AS, setara dengan Rp3,40 triliun.
Ashari merinci sektor pertanian berkontribusi 18,14 persen terhadap ekspor Sulsel. Pada sektor ini termasuk di dalamnya beberapa komoditas perikanan, seperti ikan, lobster, dan lainnya.
“Ini memang sesuai perhitungan SK kami. Sektor perikanan itu sudah masuk ikan tuna dan lainnya, tetapi tergabung pada sektor pertanian dalam perhitungannya,” kata dia.
Pada sektor industri berkontribusi sebesar 17,73 persen yang diproduksi oleh berbagai UMKM di Sulsel, seperti produk olahan UMKM, mulai dari hasil laut dan lainnya.
Sementara sektor paling besar memberikan kontribusi terhadap ekspor Sulsel ialah pada sektor tambang nikel yang nilainya mencapai 64,12 persen.
Suara.com – Menteri Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, riset sosial dan ekonomi memunyai posisi penting saat Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM.
Posisi penting riset sosial itu, kata Airlangga, terutama agar pemerintah bisa menyusun kebijakan agar daya beli masyarakat tetap terjaga.
“Pada masa pandemi ini, riset sosial ekonomi diperlukan guna membantu pemerintah memahami perilaku dan seluruh aktor dalam perekonomian yang terdisrupsi akibat adanya pandemi covid 19,” kata Airlangga Hartarto sebagai keynote speaker dalam Konferensi Nasional Konsorsium Publikasi Bidang Ilmu Sosialdi Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Ilmu sosial, menurut Airlangga, memunyai peran penting dalam menunjukkan dokumen dan memberikan rekomendasi tentang bagaimana masyarakat merespons serta mengatasi pandemi ini.
Selama ini, banyak pihak menilai, respons atas pandemi ditekankan pada pendekatan medis. Salah satunya adalah melalui PPKM.
Sementara di lain sisi, pelaku ekonomi melihat pendekatan ekonomi yang tentunya mempunyai fokus untuk menghindari agar masyarakat kehilangan penghasilan.
“Sehingga tentu balance antara penanganan covid untuk kesehatan dan juga kesempatan masyarakat untuk mendapatkan penghasilan. Nah ini sifatnya tidak ada yang pasti, namun tentu ini perlu dilihat sebagai kebijakan yang perlu diambil secara seimbang,” ungkapnya.
Perilaku manusia, tambah Airlangga, seringkali bertentangan dengan standar dan model ilmu pasti yang rasional.
Sebagai contoh, terjadi panic buying terutama memborong tisu terutama terjadi saat lockdown awal di berbagai negara di luar negeri.
“Di sinilah ilmu sosial penting untuk memberi alasan yang tepat dan agar mencegah masyarakat tidak panik untuk menghadapi situasi krisis yang tidak pernah terjadi ini,” Ucapnya, dalam acara yang diinisiasi oleh Konsorsium Publikasi Ilmiah Bidang Ilmu Sosial dengan Universitas Nasional sebagai Host dan Co-Host: UKI, Universitas Bakrie, Universitas Binus, Universitas Pelita Harapan, Universitas Muhammadiyah Jakarta dan Universitas Moestopo.
Tak ayal, bagi Airlangga, pemulihan ekonomi di Indonesia tentunya akan terus dikselerasi dengan memanfaatkan hasil riset dan inovasi termasuk juga dalam riset sosial.
Konferensi Nasional Konsorsium Publikasi Bidang Ilmu Sosial di Jakarta, Rabu (28/7/2021).
Solidarity, Creativity and Connectivity
Sejalan dengan pernyataan Menko di atas, Rektor Universitas Nasional Dr Drs El Amry Bermawi Putera MA menilai, kondisi pandemi kali ini menjadi tema untuk dikaji dari sudut pandang ilmu sosial.
Karena dengan semakin banyaknya penelitian akan semakin meningkat pula pengetahuan masyarakat umum.
Acara yang berlangsung secara hybrid; luring dan daring, Rabu (28/7) ini bertujuan untuk memfasilitasi pertukaran informasi mengenai pengetahuan dan peradaban dan budaya.
Kemudian, acara itu juga memberikan pengetahuan tentang perkembangan sosial, politik dan komunikasi saat ini serta memberi kesempatan kepada peneliti juga akademisi untuk memperluas hasil temuannya kepada masyakat.
Urgensi publikasi ini akan ditindaklanjuti dangan pelaksanaan Konferensi Internasional pada 24-25 November 2021.
Dari sudut pandang hubungan internasional, Prof Arry Bainus menyatakan, di bidang kesehatan, seluruh dunia sedang menghadapi pandemi Covid-19.
Indonesia mempunyai peluang dalam kerja sama kesehatan global, terutama penanggulangan Covid-19, sehingga diplomasi kesehatan dan diplomasi vaksin harus ditingkatkan mengingat ”angka infeksi dan kematian” cukup tinggi.
Indonesia pun mempunyai peluang dalam memenuhi kebutuhan dan penyediaan alat-alat kesehatan, obat dan vaksinasi melalui kerja sama internasional dengan pihak luar negeri mengingat Indonesia mempunyai industi farmasi dengan jaringan global.
Sementara itu, Prof Syarif Hidayat selaku Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional menggambarkan dari politik domestik, kehadiran pandemi Covid-19 sejak awal tahun 2020, telah menyodorkan pelajaran yang sangat berharga bagi Indonesia.
Sebab, secara nyata telah menguji apakah Lembaga Demokrasi di Indonesia, utamanya partai politik, lembaga perwakilan, dan birokrasi, telah menunjukkan “jati diri dan kapasitasnya” dalam menginisiasi maupun implementasi program penanggulan virus corona yang meresahkan tersebut.
Realitas mengindikasikan bahwa tiga lembaga demokrasi tersebut cenderung terlihat hanya “nyata dalam struktur”, tetapi “tidak kentara dalam fungsi”.
Silang sengkarut implementasi kebijakan pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19, merupakan salah satu indikasi dari betapa lemahnya kapasitas lembaga birokrasi.
Pada rapat terbatas di Istana Merdeka, 3 Agustus 2020, Presiden Jokowi mengungkapkan kekecewaannya atas realisasi anggaran yang masih sangat minim.
Pernyataan presiden Jokowi ini secara implisit mengisyaratkan bahwa semangat Perppu No. 1 Tahun 2020 sebagai upaya untuk menjawab kondisi darurat akibat pandemi Covid-19, belum dioperasionalkan secara optimal oleh jajaran Kementerian karena mereka masih terjebak dalam cara kerja rutin.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa reformasi yang berlangsung dalam dua dekade terakhir, baru sampai pada menghadirkan Lembaga dan Prosedur Demokrasi (Reformasi Institusi).
Sementara, penguatan kapasitas yang semestinya dimiliki lembaga demokrasi itu sendiri, relatif kurang mendapat perhatian yang serius
Dr Erna Chotim sebagai Sosiolog Unas menilai, pandemi Covid 19 di Indonesia memberikan deskripsi dinamis dan beragam tentang bagaimana pemerintah dan semua elemen masyarakat terlibat dalam perumusan dan implementasi kebijakan dan program penanggulangan Covid.
Termasuk, kata dia, soal kelompok dan gerakan yang cenderung menentang kebijakan dan program pemerintah.
“Sekaligus memberikan gambaran yang kaya tentang bagaimana munculnya inisiatif-inisiatif masyarakat dalam membangun solidaritas sosial dalam penanggulangan Covid,” kata dia.
Berbagai bentuk insiatif solidaritas sosial muncul baik dari internal maupun eksternal komunitas. Bentuk solidaritas yang muncul mencirikan prinsip common good yang melampaui perbedaan-perbedaan yang ada di dalam masyarakat.
Hal ini menjadi indikasi kuat bahwa solidaritas sosial yang terbangun saat pandemi Covid 19 sangat potensial sebagai pembentuk kesadaran kewargaan.
Tantangannya adalah, bagaimana pemerintah memanfaatkan pandemi Covid 19 ini bukan semata-mata sebagai bencana, tetapi sebagai media pembelajaran kritis bagi terbentuk dan memperkuat kesadaran kewargaan dengan mengembangkan identitas baru berbasis prinsip humanity, kesejahteraan, inklusivitas dan keadilan sosial.
Identitas baru ini menjadi basis kontrak sosial baru relasi antara negara dan masyarakat khususnya dalam konteks new normal ke depan.
Sementara dalam dalam pemaparannya, Rektor Universitas Moestopo Prof Dr Rudy Hardjanto mengatakan, situasi pandemi ini menjadi momentum memperkuat memperkuat solidaritas, konektivitas dan kreativitas.
“Covid 19 menjadi musuh bersama bagi semua umat manusia. Tidak seperti pergolakan masa lalu yang melibatkan konflik antar manusia di kedua sisi yang bermusuhan, sekarang umat manusia melawan virus,” ungkap Prof Rudy.
Pandemi saat ini, tambah Rudy, adalah perang dan umat manusia semua bersatu dalam tujuan yang sama untuk mengalahkan Covid 19.
Jakarta, CNBC Indonesia – CEO AstraZeneca, Pascal Soriot, menyebut bahwa suntikkan booster vaksin corona belum memiliki dasar ilmiah yang jelas. Ia bahkan menyebut tidak yakni bahwa booster bisa menciptakan kekebalan lanjutan yang lebih kuat terhadap Covid-19.
Dalam pernyataannya, Soriot menjelaskan bahwa AstraZeneca memproduksi sel imun yang cukup tinggi sehingga vaksinnya seharusnya mampu untuk menahan infeksi dalam jangka waktu yang panjang.
“Ada dua dimensi kekebalan ini. Pertama antibodi (yang) menurun seiring waktu, tetapi dimensi kedua yang sangat penting dari vaksinasi adalah apa yang disebut sel-T. Mereka cenderung melindungi orang dari penyakit parah dan juga memberikan daya tahan,” jelas Soriot kepada CNBC International, Kamis (29/7/2021)
“Dengan teknologi yang kami gunakan, kami memiliki produksi sel-T yang sangat tinggi. Kami berharap kami dapat memiliki vaksin tahan lama yang melindungi untuk jangka waktu yang lama.”
“Jadi apakah kita akan membutuhkan booster ketiga atau tidak masih belum jelas, hanya waktu yang akan menjawabnya.”
Soriot menambahkan bahwa satu-satunya cara untuk memastikan apakah suntikan booster benar-benar diperlukan adalah dengan melihat apakah kemanjuran vaksin menurun seiring waktu.
“Kami tahu bahwa (vaksin kami) memiliki penurunan antibodi (dari waktu ke waktu). Kami belum melihat penurunan kemanjuran tetapi agak dini untuk menilai dan saya berharap sel-T akan memberikan perlindungan jangka panjang yang tahan lama ini.”
Sebelumnya produsen vaksin Covid-19 lainnya, Pfizer, mengatakan bahwa perusahaannya sangat yakin bahwa manusia membutuhkan dosis penguat karena antibodi tubuh yang memudar seiring waktu dan juga perkembangan Varian Delta yang meluas.
“Kami sangat, sangat yakin bahwa dosis ketiga vaksinnya akan memberikan kekebalan yang cukup untuk melindungi dari varian delta Covid yang menyebar lebih cepat,” ujar CEO Pfizer Albert Bourla.
Bourla bahkan menambahkan bahwa ada pengurangan efikasi vaksin buatannya dalam jangka waktu beberapa bulan setelah penyuntikan.
“Kemanjuran vaksin turun menjadi sekitar 84% empat hingga enam bulan setelah dosis kedua,” jelasnya.